jpnn.com, JAKARTA - Peringatan tragedi Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur kemarin (8/5) terasa istimewa.
Pasalnya, Presiden ke-3 RI BJ Habibie hadir di tengah sejumlah keluarga korban. Dia berkomitmen menyampaikan usulan para keluarga korban kepada Presiden Joko Widodo.
BACA JUGA: Pioner Pengembangan Batam Ini Minta Pengusaha Jangan Mengeluh
Habibie tiba menjelang pukul 14.00. mengenakan setelan safari berwarna cokelat muda, dia disambut hangat oleh para undangan. Termasuk di dalamnya sejumlah siswa SMA.
Habibie pun mengiyakan saat para siswa itu meminta foto bersama. ’’Kalian itu masa depan bangsa,’’ ujar Habibie sebelum berfoto.
BACA JUGA: Pak Habibie Itu Memang Orang yang Cerdas
Pada kesempatan tersebut, Habibie sempat menyampaikan pidato kebangsaan. Sebagian besar berisi kenangan sejak Habibie berkarya untuk bangsa. Termasuk saat-saat terakhir jelang lengsernya Presiden ke-2 RI Soeharto.
Setelah ditetapkan sebagai presiden, dia mengatakan kepada mantan Menhankam/Pangab Wiranto, bahwa setiap orang boleh berdemonstrasi.
BACA JUGA: Habibie Tegaskan Batam Bukan untuk Spekulan Lahan
Tidak boleh ada yang dipenjara karena berdemo. ’’Hanya kriminal yang boleh dipenjara,’’ ujarnya.
Dia mengingatkan, peristiwa Mei 1998 tidak boleh lagi terjadi. Habibie berjanji menyampaikan masukan dari para keluarga korban kepada Presiden Joko Widodo.
’’Kemungkinan besar tanggal 13 (Mei) saya akan ke luar negeri, dan sebelum saya pergi, saya direncanakan akan bertemu dengan presiden,’’ tutur tokoh yang di dunia penerbangan dijuluki Mr Crack itu.
Saat sesi tabur bunga, Habibi memilih tidak ikut serta karena kelelahan. Meskipun begitu, dia sempat menginggatkan masyarakat agar tetap merawat kebhinnekaan.
Menurut dia, meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun Indonesia bukanlah negara Islam.
’’Kita negara dari masyarakat yang yakin adanya Tuhan Yang Maha Esa,’’ lanjut tokoh yang bakal berusia 81 tahun pada 25 Juni mendatang itu.
Dia mencontohkan, Indonesia tidak menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa nasional, meskipun suku Jawa merupakan mayoritas dan penutur bahasa Jawa juga jumlahnya palking banyak di Indonesia.
Alasannya sederhana, karena bahasa Jawa masih tergolong feodal. Akhirnya dipilihlah bahasa melayu, dan bisa diterima oleh semua elemen bangsa.
Segala perbedaan yang ada, tutur Habibie, tidak boleh dijadikan alasan untuk saling berperang satu sama lain.
’’Yang harus kita perangi adalah ketidakadilan dan kemiskinan,’’ tegasnya. Peristiwa 1999 tidak boleh dilupakan. Menurut Habibie, itu adalah fakta.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menuturkan, sudah seharusnya tragedy 1998 menjadi pelajaran bagi Bangsa Indonesia.
’’Ketika sentiment etnis dimainkan dan terjadi perpecajhan karenanya, seluruh masyarakat akan menjadi korban,’’ tutrnya. Bukan hanya etnis yang disasar, namun juga etnis lain yang bahkan tidak berkaitan.
Azriana meminta agar pemerintah meperhatikan temuan-temuan Tim Gabungan Pencai Fakta (TGPF) 1998 dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut.
Dia menuturkan, ada sedikitnya 85 perempuan etnis Tionghoa kala itu yang menjadi korban kekerasan seksual secara berkelompok.
Karena itu, Komnas Perempuan menginginkan kasus tersebut segera diungkap, dan ada peradilan HAM yang mengadilinya.
’’Itu agar kasus semacam ini tidak sampai terulang lagi di masa yang akan datang,’’ tambahnya. (byu)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Habibie Tegaskan Batam Itu Bukan Gudang, Harusnya Setara Singapura
Redaktur : Tim Redaksi