jpnn.com, MARAWI - Kepastian kabar kematian pemimpin ISIS Asia Tenggara Isnilon Hapilon dan petinggi militan Maute, yaitu Omarkhayam Maute, membuat Presiden Filipina Rodrigo Duterte luar biasa senang.
Tanpa rencana dan pemberitahuan, dia berkunjung ke ibu kota provinsi Lanao del Sur itu, Selasa (117/10). Di hadapan para tentara, pria yang akrab disapa Digong tersebut menyatakan bahwa Marawi telah bebas.
BACA JUGA: Ngacir dari Raqqa, ISIS Jadikan Warga Sipil Tameng Hidup
’’Saya menyatakan bahwa Kota Marawi telah dibebaskan dari pengaruh teroris. Itu menjadi tanda dimulainya proses rehabilitasi,’’ ujar Duterte dalam kunjungannya kali ketujuh ke Marawi itu.
Dia meminta agar tidak perlu ada perayaan apa pun dan berjanji tidak akan membiarkan kelompok militan sampai menandon senjata begitu banyak seperti Maute.
BACA JUGA: Eks Punker Si Janda Putih ISIS Akhirnya Tewas
Pertempuran selama 148 hari di Marawi memang membuat kota tersebut luluh lantak. Sejak awal konflik pada 23 Mei lalu, militer Filipina (AFP) menggempur kota tersebut dari darat dan udara hampir tanpa henti. Setidaknya 200 ribu bangunan rusak parah.
Duterte meminta maaf kepada penduduk Marawi atas kerusakan itu. Menurut dia, pemerintah tidak memiliki pilihan lain untuk menumpas militan yang berencana menguasai kota tersebut.
BACA JUGA: Benteng Terakhir ISIS Berhasil Direbut
Sebab, jika dibiarkan, Filipina akan menjadi basis baru ISIS. Kelompok militan sadis tersebut mencari negara baru untuk dikuasai setelah mereka kalah di Iraq dan Syria.
Saat Duterte mengumumkan pembebasan Marawi, dari kejauhan masih terdengar suara tembakan. Pertempuran memang masih berlangsung di kota dengan mayoritas penduduk muslim itu.
AFP menyatakan, saat ini masih ada sekitar 20–30 militan yang bertahan. Mereka menguasai sekitar 60–80 bangunan dan menyekap 20 tawanan.
Restituto Padilla, juru bicara AFP, menegaskan bahwa anggota Maute yang tersisa tidak mungkin bisa melarikan diri ke luar. Begitu juga sebaliknya, tidak ada militan yang bisa masuk ke Marawi untuk membantu mereka.
Sekitar delapan di antara militan yang tersisa itu adalah orang di luar Filipina. Termasuk Mahmud Ahmad. Pria asal Malaysia tersebut selama ini menjadi orang di balik pendanaan serangan Maute dan Abu Sayyaf di Marawi. Padila yakin Ahmad bukan masalah besar. Sebab, dia adalah seorang akademisi, bukan militan sejati.
Meski begitu, beberapa pakar keamanan berkata lain. Mereka yakin Ahmad bisa menggantikan posisi Isnilon Hapilon. Ahmad punya uang untuk mendanai pergerakannya.
Dia juga memiliki kemampuan untuk merekrut anggota baru. Bukan hanya itu, dia juga pernah dilatih di kamp Al Qaeda di Afghanistan.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana menuturkan, operasi di Maute diperkirakan telah menghabiskan dana 5 miliar peso atau setara Rp 1,3 triliun.
Proses rekonstruksi baru bisa dilakukan Januari tahun depan karena saat ini masih ada militan di Marawi dan bangunan-bangunan yang tersisa belum aman. Ada bom-bom yang gagal meledak dan bom rakitan.
AFP menyiarkan kematian Hapilon dan Omarkhayam Senin (16/10). Sejatinya hari itu mereka melakukan operasi penyelamatan sandera. Ada 17 sandera yang berhasil dibebaskan.
Salah satunya, memberikan informasi mengenai keberadaan Hapilon dan Omarkhayam. Operasi penyelamatan dilanjut dengan serangan.
Hapilon yang juga pemimpin militan Abu Sayyaf tertembak di bagian kepala, sedangkan Omarkhayam di bagian dada.
Jasad keduanya berhasil dievakuasi untuk dites DNA guna memastikan secara resmi. Saudara Omarkhayam, Abdullah Maute, diperkirakan tewas dalam serangan Agustus lalu. Namun, jasadnya tidak pernah ditemukan.
Hapilon selama ini tidak hanya menjadi buruan di Filipina. Pemerintah Amerika Serikat (AS) menawarkan USD 5 juta (Rp 67 miliar) untuk menangkapnya.
Sementara itu, pemerintah Filipina menghargai Hapilon 10 juta Peso (Rp 2,6 miliar) dan Omarkhayam 5 juta Peso (Rp 1,3 miliar). (Reuters/Rappler/Inquirer/sha/c15/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penembakan di Las Vegas Bikin Hati Ariana Grande Hancur
Redaktur & Reporter : Adil