Hadapi Ujian Praktik Bagaikan Menunggu Hari Pernikahan

Jumat, 16 Agustus 2013 – 06:48 WIB
PRESTASI: Mira Yudhawati (kiri) dan Hendri Kurniawan, dua juri barista internasional asal Indonesia. F-GUNAWAN SUTANTO / JAWA POS

jpnn.com - Di luar pelaku industri kopi, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia punya dua juri lomba barista internasional. Mereka adalah Hendri Kurniawan dan Mira Yudhawati. Profesionalitas mereka diakui komunitas barista dunia. 

GUNAWAN SUTANTO, Jakarta 

BACA JUGA: Di Antartika Hanya Ketemu Penguin, di Argentina Kagumi Danau Garam

Suasana coffee shop Headline Cafe di kawasan Kemang sore itu (4/8) tampak sepi. Hanya terlihat dua barista (ahli pengolah kopi) yang sedang beraktivitas dengan coffee maker. Rupanya, barista itu sedang menyiapkan segelas espresso dan cappuccino untuk seorang tamu laki-laki serta seorang pengunjung perempuan.

Pengunjung laki-laki itu ternyata Hendri Kurniawan, pakar kopi Indonesia yang mempunyai sertifikat juri lomba barista internasional, World Barista Championship (WBC). Dia memperoleh sertifikat itu setelah lulus ujian WBC di Nagoya, Jepang, 2 Oktober 2012. Hendri tercatat sebagai juri bidang teknik atau technical judge.

BACA JUGA: Upaya Eks PSK Tambakasri Mentas dari Bisnis Syahwat

Prestasi Hendri diikuti Mira Yudhawati, yang tidak lain adalah pemilik Headline Cafe. Mira meraih sertifikat juri WBC dalam ujian di Singapura awal tahun ini. Dia tercatat sebagai juri di bidang rasa atau sensory WBC.

Obrolan santai di kafe mungil itu diawali cerita keduanya saat sering terlibat sebagai juri dalam kejuaraan-kejuaraan barista tingkat nasional. Nah, dari pengalaman di level nasional itulah, keduanya lantas mencoba tantangan mengikuti sertifikasi juri dunia.

BACA JUGA: Berkat Video Ketakutan Terbesar Pemakai Kartu

"Salah satu syarat untuk mendaftar sertifikasi juri dunia memang harus pernah menjadi juri kejuaraan nasional, minimal dua kali," ujar Mira.

Namun, pengalaman penjurian lomba tingkat nasional yang diajukan Hendri maupun Mira ternyata tidak berlaku. Keduanya lantas mengajukan pengalamannya menjadi juri kompetisi barista tingkat nasional di negara lain seperti Thailand dan Singapura.

"Pengalaman kami beberapa kali menjadi juri di kompetisi nasional di Indonesia tidak dihitung panitia WBC. Sebab, Indonesia baru terdaftar di WBC tahun ini (2013)," terang Hendri.

Padahal, Hendri menjadi juri di kompetisi lokal sejak 2009, sedangkan Mira lebih lama lagi, yakni sejak 2008. Hendri mengikuti sertifikasi juri dunia itu dua kali. Pada sertifikasi pertama di Korea pada 2011, dia tidak lulus. Karena itu, dia mencoba lagi di Nagoya pada 2012.

Setelah dinyatakan lolos seleksi awal, Hendri dan Mira mesti mengikuti tes praktik selama dua hari. Menurut Mira, tes dua hari itu cukup berat. Dia mengibaratkan menghadapi hari pernikahan. "Stresnya seperti mau nikah," kelakar istri Resha Nareshwara tersebut.

Selama dua hari itu, peserta menghadapi tes tulis dan tes penjurian. Untuk tes tulis, materinya menyangkut pengetahuan umum tentang kopi, peraturan kejuaraan, dan mock up competition. Pada tes penjurian, peserta diminta menilai kinerja barista dalam menyiapkan kopi seduhannya.

"Dalam tes menguji barista itulah sering ada jebakan-jebakan yang kalau kita tidak hati-hati bisa terjebak betulan," papar Hendri.

Misalnya, Mira pernah dikelabui panitia saat tes citarasa. Ketika itu, dia disuguhi kopi yang, kata panitia, sudah diberi zat perasa tertentu. Mira lalu disuruh menyebutkan rasa apa yang ada dalam kopi itu.

"Kopi itu ternyata tidak diberi perasa apa-apa. Kopi itu sudah memiliki rasa asli buah-buahan," jelas perempuan 30 tahun tersebut.

Hendri maupun Mira mengaku, tujuan mengikuti sertifikasi juri dunia semata-mata adalah ingin mengangkat profesi barista Indonesia. Menurut mereka, dengan menjadi juri di kompetisi dunia, mereka bisa mendapat wawasan baru dan lebih luas untuk kemudian ditularkan kepada barista Indonesia.

"Kami ingin kompetisi barista Indonesia selevel dengan di negara lain. Apalagi, Indonesia dikenal sebagai salah satu penghasil kopi terbesar di dunia," papar Mira.

Menurut dia, dari segi skill, pengetahuan soal kopi dan profesionalitas, barista tanah air masih tertinggal jauh dari negara lain. Padahal, profesionalisme barista sangat memengaruhi kualitas kopi yang disuguhkan.

"Bagaimanapun bagusnya kualitas kopi dan pengelolaannya, kalau baristanya tidak mampu menyajikan dengan baik, ya percuma saja," sambung Hendri.

Hendri maupun Mira mengakui, sebenarnya Indonesia memiliki sejumlah juri barista yang berpengalaman di luar negeri. Hanya, tidak ada yang bersedia mengikuti sertifikasi juri dunia.

Bahkan, keduanya tidak bisa melupakan dorongan dan peran pakar kopi Tuti H. Mochtar. Perempuan kelahiran London tersebut merupakan petinggi Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI). Tuti selama ini juga dikenal sebagai juri kejuaraan barista di luar negeri. "Hanya, mungkin karena kesibukannya, beliau tidak mengambil sertifikasi WBC," jelas Hendri.

Hendri terjun di dunia perkopian sejak 1999. Awalnya, dia menjadi barista di sebuah coffee shop di Sydney, Australia. Di tempat kerjanya itulah dia berkesempatan mendalami ilmu mengolah kopi.

"Saya disekolahkan perusahaan tempat saya bekerja itu. Setelah dapat ilmu, saya balik ke Indonesia untuk memulai bisnis coffee shop sendiri," paparnya.

Kini Hendri lebih banyak menjalankan perannya sebagai konsultan food and beverages (F&B). "Misalnya, saya dimintai bantuan untuk pendirian coffee shop. Saya bersyukur punya ilmunya," tegasnya. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Temukan Arsiran Lambang PKI di Uang Rp 2.500


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler