Haji Peking dan Rakaat Salat Tokoh yang Dianggap Terlibat G30S PKI

Jumat, 30 September 2022 – 07:03 WIB
Ilustrasi: kaus bergambar palu arit yang diidentikkan dengan PKI. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Di antara banyak tokoh penting yang dianggap terlibat G30S PKI lalu dipenjara ialah dr. Soebandrio.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, pria asal Kepanjen, Malang, itu merupakan tokoh intelijen yang dipercaya memegang banyak jabatan.

BACA JUGA: Peringati Peristiwa G30S/PKI, FPI Bakal Gelar Nobar Film Besok

Soebandrio merupakan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) saat G30S meletus. Tokoh yang lahir pada 15 September 1914 itu juga memegang jabatan lain, yakni menteri luar negeri dan wakil PM.

Memang lulusan Geneeskundige Hoogeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta itu dikenal sebagai orang kepercayaan Bung Karno.

BACA JUGA: Heboh Saldo Rekening Nasabah BNI Tetiba Berisi Rp 14,8 Triliun, Arief Curiga

Soebandrio pula sosok yang tahu soal keabsahan Dokumen Gilchrist.

Sebutan 'Gilchrist' yang disematkan pada dokumen itu diambil dari nama Andrew Gilchrist, Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia.

BACA JUGA: Ketidaksukaan Soeharto pada Keputusan Bung Karno soal Pranoto Pascaperistiwa G30S

Soebandrio menyebut dokumen itu ditemukan di rumah Bill Palmer, di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat pada 1 April 1965. Palmer yang dikenal dekat dengan Bung Karno merupakan bos American Motion Pictures Association of Indonesia (AMPAI).

Dokumen Gilchrist diyakini sebagai surat kepada Sir Harold Caccia, sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri Kerajaan Inggris. Hal terkenal dari dokumen itu ialah frasa 'our local army friends' yang kemudian dianggap sebagai petinggi TNI AD yang dekat dengan Barat.

Julius Pour dalam bukunya yang berjudul 'Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang' menulis soal Soebandrio menerima Dokumen Gilchrist pada awal Mei 1965.

Syahdan, Soebandrio meminta Kepala Staf BPI Brigjen (Pol) R Soetarto meneliti dokumen tersebut.

Soetarto membandingkan kertas yang digunakan pada dokumen itu dengan berbagai surat dan catatan yang diambil dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.

Pada 16 September 1963, massa prokomunis menyerbu Kedubes Inggris di dekat Bundaran HI, Jakarta Pusat. Serbuan itu sebagai respons atas berdirinya Federasi Malaysia yang dianggap sebagai negara boneka Inggris.

Massa merusak kantor Kedubes Inggris dan membakar mobil ambasador. Selain itu, massa juga menemukan berbagai dokumen.

Soetarto memastikan kesamaan kertas yang dipakai untuk Dokumen Gilchrist dengan dokumen lain di Kedubes Inggris. Namun, perwira polisi itu juga menyertakan catatan.

"... belum jelas siapa yang dimaksud local army friends. Selain itu, terdapat kesalahan tata bahasa sehingga diragukan penulisnya bukan diplomat Inggris," demikian catatan Soetarto yang dikutip Julius Pour.

Belakangan ada klaim soal Dinas Intelijen Cekoslowakia sebagai pembuat Dokumen Gilchrist. Hal itu terungkap dari pengakuan Ladislav Bittman, anggota Dinas Intelijen Cekoslowakia yang menyeberang ke AS.

Namun, Soebandrio meyakini dukumen itu autentik. Pada 26 Mei 1965, dia menyerahkan Dokumen Gilchrist kepada Presiden Soekarno tanpa mempertimbangkan catatan Soetarto.

Keesokan harinya, presiden bergelar Pemimpin Besar Revolusi itu langsung menggelar rapat dengan para menteri kepala staf angkatan.

Rapat yang digelar pada pukul 10.00 itu dihadiri Menteri/Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Laut RE Martadinata, dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Soetjipto Joedodihardjo.

Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dhani tidak menghadiri rapat itu karena sedang di luar kota. Dia mengutus deputinya, Sri Mulyono Herlambang.

Buku Julius Pour yang diterbitkan September 2010 itu menceritakan soal pernyataan A Yani di dalam rapat tersebut tidak membantah tentang Dewan Jenderal.

"... memang ada. Malah saya sendiri yang memimpin, tetapi tidak benar kalau tugas mereka menilai kebijaksanaan yang telah digariskan Presiden," jawab Yani.

Dokumen itu belum bocor ke wartawan. Akan tetapi, Soebandrio atas dasar perintah Bung Karno membocorkan Dokumen Gilchrist ke media luar negeri pada pertengahan 1965.

Saat itu, Bung Karno tengah berada di Mesir karena urung mengunjungi Aljazair yang sedang didera kudeta menjelang Konferensi Asia Afrika (KAA) II.

Walhasil, Dokumen Gilchrist terpublikasikan pertama kali oleh surat kabar Mesir. Adapun di dalam negeri, desas-desus tentang Dewan Jenderal bakal melakukan kudeta beredar santer.

Soebandrio pun dianggap punya maksud lain dengan menyebarkan Dokumen Gilchrist. Dia dituduh menggunakan dokumen itu sebagai kedok untuk menutupi agenda tersembunyi.

"Maka dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan, penyebarluasan Dokumen Gilchrist, seperti yang telah disetujui Presiden dan Jenderal Yani, adalah selimut dari maksud lain. Bertujuan untuk mematahkan apa yang disebut 'local army friends' yang disebut juga sebagai Dewan Jenderal, atau yang oleh tertuduh diartikan para perwira tinggi Angkatan Darat yang akan melakukan kudeta," tulis Julius Pour menyitir surat dakwaan yang dibacakan oditur Letkol CKH Durmawel Ahmad pada persidangan terhadap Soebandrio di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

Di persidangan, oditur juga menyematkan julukan Durno kepada Soebandrio. Durno merupakan tokoh licik dalam epos Mahabarata.

"Durno sumber bencana. Lambang kelicikan dan plin-planismus," ujar sang oditur.

Tentu saja Soebandrio sakit hati dengan julukan itu. Namun, itu bukan satu-satunya julukan untuknya.

Tokoh yang dibesarkan dalam keluarga muslim taat itu juga dijuluki Haji Peking. Soebandrio mengaku naik haji pada awal 1965.

Oditur juga mencecar Soebandrio tentang ibadah haji. "Menziarahi Baitullah, Makkah, mengamalkan tawaf dan sai. Apa semuanya dijalankan?" tanya oditur.

Soebandrio mengaku menjalankan seluruh rukun haji. "Semuanya," katanya.

Oditur mendesak Soebandrio dengan pertanyaan lain. "Sampai sekarang masih sembahyang?"

Soebandrio pun mengaku masih salat.

Lagi-lagi oditur mengajukan pertanyaan lain untuk mengorek pemahaman Soebandrio tentang Islam.

"Berapa rakaat sehari?" kata oditur.

"Banyak," ucap Soebandrio.

Syahdan, oditur bertanya soal jumlah rakaat salat wajib. Namun, Soebandrio tidak menyebut angka pasti.

"Pokoknya selalu lebih dari yang diwajibkan," ucapnya.

Dalam nota pembelaan atau pleidoi, Soebandrio menyebut julukan-julukan itu merupakan risikonya sebagai politikus.

"Bagi kami, disebut dalam kuran sebagai Durno, sebagai Haji Peking, kami anggap sebaga risico van het bedrijf, risiko kehidupan politik," katanya.

Mahmilub menjatuhkan hukuman mati kepada Soebandrio. Namun, penguasa Orde Baru tidak mengeksekusi putusan itu dan memilih memenjarakannya.

Dengan mempertimbangkan faktor usia, penguasa Orba membebaskan Soebandrio, Soetarto, dan Omar Dhani pada 16 Agustus 1995. Soebandrio meninggal dunia pada 3 Juli 2004.

Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menyebut Soebandrio merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia meski masih banyak misteri soal perannya.

"Dia bukan Durno seperti dilontarkan dalam black campaign yang dilakukan klik Soeharto," tulis Asvi dalam catatan yang dikutip Julius Pour untuk buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang.(JPNN.com)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler