Sejumlah media di Indonesia melaporkan adanya kekhawatiran, khususnya di kalangan politisi, soal potensi kecurangan jika penyandang disabilitas mental menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum (pemilu) mendatang. Hak Pilih Warga Difabel Mental:Warga dengan gangguan jiwa memiliki kemampuan untuk memilih, sehingga haknya jangan dirampas.Isu hak pilih warga yang psikologinya terganggu dijadikan alat politik jelang Pemilu 2019.Kecurangan bisa dilakukan pada siapapun, bukan hanya kepada warga difabel mental.
BACA JUGA: Pendapat WNI di Australia dan Selandia Baru Mengenai Debat Capres
Padahal menurut keputusan Mahkamah Konsitusi (MK), mereka mempunyai hal yang sama dengan warga Indonesia lainnya untuk menggunakan suara mereka saat pemilu.
Di program Indonesia Lawyer Club yang disiarkan TVOne bulan Desember 2018 lalu, Djamal Aziz, politisi yang juga mantan anggota DPR mempertanyakan mengapa "orang gila boleh nyoblos".
BACA JUGA: Polisi Banjiri Dengan Petugas Lokasi Tewasnya Aiia Maasarwe di Melbourne
"Kalau orang gila boleh nyoblos, dia masuk ke TPS terus kumat, mengobrak-abrik, bagaimana kira-kira?" ujar Djamal, yang disambut tawa oleh penonton.
Jaka Ahmad, seorang tunatera yang bekerja sebagai disable specialist di CBM Indonesia mengatakan masyarakat umum telah salah mengerti soal penderita gangguan jiwa.
BACA JUGA: Netizen Indonesia Kecewa Dengan Debat Capres Yang Kaku Dan Kurang Menarik
"Mungkin yang dimaksud Pak Djamal bahwa orang-orang dengan gangguan jiwa adalah yang berkeliaran di jalan, tidak pakai baju, suka mengamuk" ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Menurut Jaka, masyarakat luas sudah memiliki pandangan negatif soal penderita gangguan jiwa, meski pada kenyataannya tidak semua berperilaku seperti itu.
"Banyak yang sudah mendapat treatment yang benar, diberi obat dan kondisi mereka juga diperhatikan, hingga bisa melakukan kegiatan seperti orang biasa."
"Mereka bisa sekolah, bahkan bisa mengajar, bekerja, mengambil keputusan, termasuk bisa ikut memilih dalam pemilu."
Sebagai salah satu buktinya adalah banyak warga yang mengalami gangguan jiwa dari sejumlah desa di Kabupaten Ponorogo, yang sebelumnya dikenal sebagai 'Kampung Idiot', kini sudah menghasilkan uang sendiri dan tidak lagi jadi beban keluarga.Sama dengan penyakit lainnya Photo: Masalah gangguan jiwa di Indonesia pernah jadi sorotan dunia karena maraknya praktik pasung. (HRW: Andrea Star Reese)
Sejumlah pakar dan advokasi warga difabel mengatakan penderita gangguan mental sebenarnya sama saja dengan mereka yang memiliki penyakit lainnya.
Jaka menyamakan kondisi mereka dengan pengidap diabetes, dimana saat gula darah mereka tinggi di hari pencoblosan, maka mereka memilih beristirahat atau pergi ke dokter, ketimbang datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
"Orang dengan gangguan jiwa juga tidak bisa disembuhkan, tapi dengan edukasi dan diberi obat, mereka bisa mengenali kondisinya sendiri sebelum membuat keputusan beraktivitas, seperti mencoblos."
Hal senada juga diutarakan oleh Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia.
Ia berpendapat kebanyakan masalah kejiwaan di Indonesia tidaklah permanen, tetapi sebuah pola psikologis yang disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti stress atau depresi.
"Kalau gangguan mental mereka kambuh, mereka juga tidak akan berpikir untuk datang memilih, bukan?," tegasnya.
Karenanya, menurut Yeni pernyataan surat dokter sebelum mencoblos tidaklah perlu, karena kondisi mereka bisa saja berubah pada hari pemilu.
Menurut keduanya pemahaman seperti ini yang perlu diketahui oleh masyarakat, agar tidak lagi memandang negatif warga dengan gangguan jiwa datang ke TPS.
Isu hak pilih warga difabel mental jadi alat politik
Mempertanyakan hak pilih warga difabel mental di Pemilu 2019 menurut Yeni bukan hanya bentuk diskriminasi, tapi juga sudah dipolitisasi.
"Para pemain politik menggunakan isu hak pilih yang dimiliki warga difabel mental sebagai alat politik," ujarnya.
"Mereka menggunakan isu ini untuk menyerang pesaingnya, bahkan melakukan tindakan bullying," tambah Yeni.
"Jangan sampai hak politik malah diinjak-injak untuk kepentingan politik."
Yeni pernah memantau Pemilu 2014 yang dilakukan di berbagai rumah sakit jiwa dan ia mengatakan hasil pemenangannya berbeda-beda.
"Di Rumah Sakit Jiwa Grhasia [Yogyakarta], Joko Widodo yang menang, tapi di Rumah Sakit Jiwa Bali dan di Lombok, Prabowo yang menang."
Karena itu, Yeni mengatakan menganggap warga dengan gangguan psikologi akan lebih mudah dipengaruhi dan dicurangi adalah sebuah stigma.
"Kecurangan itu bisa dilakukan dan terjadi kepada siapa pun, seperti dipengaruhi dengan himbauan atau dengan uang."
"Apabila ada potensi kecurangan dalam pemilu, maka bukan hak pilihnya yang dicabut, tapi potensinya yang dihindari dan diawasi," tegas Yeni.
Jaka juga mengatakan jika ada kekhawatiran pemilih warga difabel akan dieksploitasi oleh pihak tertentu demi kepentingan politik, maka mereka yang mengeksploitasilah yang seharusnya ditindak.
Sejumlah organisasi kemasyarakatan juga menegaskan bahwa upaya mereka mendorong warga difabel mental menggunakan suaranya di pemilu nanti bukan bermaksud mendukung atau menyerang kubu dan politisi tertentu.
"Terlepas dari siapa yang mereka dukung, kita hanyalah ingin melindungi hak setiap orang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memilih"
Dr Lahargo Kembaren, psikiater sekaligus kepala instalasi rehabilitasi psikososial di RS Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat, mengatakan, hak pilih merupakan hak legal pasien kejiwaan karena sudah disepakati di konvensi internasional.
"Konvensi CRPD (konvensi atas hak-hak penyandang disabilitas) itu sudah ditandatangani dan diratifikasi oleh Indonesia, bahwa itu adalah suatu hal yang memang harus diakui, memang harus ada dan tidak boleh diabaikan hak tersebut," jelasnya kepada ABC.
Ia menambahkan, pendampingan bahkan tidak diperlukan untuk pemilih dengan gangguan jiwa.
"Buat apa didampingi? mereka bisa jalan, mereka bisa tahu apa yang mau dipilih."
Ia lantas menceritakan pengalaman Pemilu 2014 di RS Marzoeki Mahdi.
"Lima tahun lalu, kebetulan ada beberapa pasien (kejiwaan) yang kita tanyakan 'ayo sekarang ini jadwalnya memilih', dia menolak, dia enggak mau, ya itu haknya dia kan?. Sama juga orang yang mau golput misalnya, itu hak yang bersangkutan. Jadi tidak ada perbedaan di sini."
Menurut Lahargo, tugas pihak rumah sakit terhadap pasien kejiwaan adalah melakukan sosialisasi, sama halnya dengan yang didapat masyarakat umum.
"Kita sosialisasikan cara-caranya bagaimana, mencoblosnya bagaimana, lima tahun lalu itu kami mengundang PERLUDEM dan PJS, jadi badan yang netral."Pemilih dari kelompok disabilitas mental sudah didata
Sumber ABC Indonesia di salah satu fasilitas kesehatan mental di Surabaya, Jawa Timur, mengatakan pihaknya belum menerima arahan resmi mengenai pelaksanaan hak pilih penyandang disabilitas mental.
Mereka mengaku masih menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan arahan terkait kebijakan tersebut.
"Sampai sekarang rumah sakit kami masih belum ada pembicaraan soal itu," ujar sumber yang tak bersedia disebutkan namanya kepada Nurina Savitri dari ABC Indonesia.
"Belum ada sosialiasasi lebih lanjut," imbuhnya.
Sementara itu Komisioner KPU, Viryan Aziz menjelaskan bahwa KPU sudah mendata semua rumah sakit jiwa di Indonesia.
Viryan mengatakan penyelenggara pemilu telah mengadakan pertemuan dengan semua pihak fasilitas kesehatan mental di Surabaya.
"Menurut teman-teman Jatim, pasien di sana tidak permanen [gangguan jiwanya] dan pihak RSJ tidak memberikan data," ujarnya menanggapi soal pengakuan belum ada sosialisasi di salah satu rumah sakit.
"Pihak rumah sakit hanya memberikan angka saja, tidak berkenan memberikan data by name [penyebutan nama] dengan alasan kode etik".
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi adalah salah satu RS yang mengaku sudah berkoordinasi dengan KPU setempat terkait pendataan. Namun mereka menuturkan kondisi di instalasi rehabilitasi psikososial yang menangani pasien gangguan kejiwaan sedikit berbeda.
"Tahap pendataan sebenarnya sudah masuk tapi kita sudah sampaikan kalau, pasien kejiwaan itu turnover (pergantian)-nya 40 hari, kita baru bisa kasih data ke mereka biasanya 2-3 minggu sebelum pencoblosan," jelas Dian Priatama, Humas RS Marzoeki Mahdi kepada ABC (17/1/2019).
Dian mengatakan, pemberian data pasien kepada pihak di luar rumah sakit memang terkait erat dengan kode etik.
"Tapi kalau untuk urusan Pemilu kan, tadi seperti yang sudah saya bilang, misalnya dia punya KTP, terus kan kejiwaan itu macam-macam, tidak semua tidak bisa kita berikan datanya. Kalaupun kita berikan data biasanya keluarga kita hubungi dulu." Photo: Jumlah pemilih tetap dari kelompok disabilitas grahita dan mental untuk Pemilu 2019. (Supplied; KPU)
Pihak Rumah Sakit Jiwa biasanya mulai melakukan sosialisasi satu atau dua bulan sebelum Pemilu dan mempersilahkan keluarga pasien untuk menghubungi mereka.
Meski demikian ada persoalan teknis yang dirasa Dian masih mengganjal.
"Kan di KPU ada aturannya untuk memilih, kalau misalnya dia mau memilih di saya (RS) kan dia mesti bawa formulir C4 karena dari KTP asalnya. Yang merah itu, dia harus bawa itu. Nah apakah mereka bisa memilih di tempat saya (RS) tanpa membawa formulir C4 itu?.
"Itu yang saya belum dapat kabar dari KPU-nya. Mekanismenya seperti apa."
Permasalahan, menurut Dian, bisa juga terjadi jika pasien gangguan jiwa tidak memiliki keluarga. Pasalnya, meski mereka memiliki hak pilih, dilihat dari aspek legal, mereka tidak memenuhi syarat.
"Ini KTP -nya bagaimana? kan orang dengan gangguan jiwa itu di bawah pengampuan, artinya kalau boleh tidaknya dia memilih ya harus izin dulu, orang tuanya, istrinya, suaminya, begitu. Tetap kita izin ke keluarganya karena kan dia masuk rumah sakit kan ada penanggung jawabnya."
"Siapapun yang masuk rumah sakit (untuk alasan kejiwaan) bukan atas permintaan sendiri, pasti ada penanggung jawabnya."
Pihaknya selama ini, sejak Pemilu 2014, selalu menyampaikan sosialisasi Pemilu ke penanggung jawab pasien.
"Kami sampaikan 'Kita mau ada Pemilu nih, mau milih apa enggak? kata dokter dia (pasien) boleh memilih', kalau tidak ya kita tidak akan paksakan mereka. Yang penting, kita sudah sosialisasikan bahwa mereka punya hak pilih, tapi keluarga bagaimana?," ujar Dian.
Menurut keterangan Viryan Aziz, KPU sendiri saat ini tengah menyusun Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Dibandingkan Pemilu 2014, jumlah pemilih disabilitas grahita dan mental pada Pemilu 2019 meningkat tajam.
Data KPU menunjukkan, ada 54.295 pemilih disabilitas grahita dan mental dalam Pemilu 2019, atau sebanyak 0,028 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT), dibandingkan dengan jumlah 8.717 di tahun 2014.
Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Debat Perdana Capres-Cawapres RI Minim Serangan