Seperti juga jutaan warga Indonesia yang mengikuti jalannya debat pertama pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia tahun 2019, warga Indonesia di luar negeri juga berusaha mengetahui peristiwa tersebut.
Dengan adanya kemudahan teknologi seperti sekarang, tidak seperti misalnya 20 tahun lalu, kejadian langsung di Indonesia sekarang bisa langsung segera diikuti.
BACA JUGA: Polisi Banjiri Dengan Petugas Lokasi Tewasnya Aiia Maasarwe di Melbourne
Bagaimana pendapaat warga Indonesia yang tinggal di Australia dan Selandia Baru mengenai debat yang dilangsungkan antara calon presiden/wapres nomor 1 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan pasangan nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tersebut.
Wartawan ABC Sastra Wijaya sudah menghubungi lebih dari 30 orang sepanjang hari Jumat untuk mengetahui pendapat mereka.
BACA JUGA: Netizen Indonesia Kecewa Dengan Debat Capres Yang Kaku Dan Kurang Menarik
Sebagian tidak bisa memberikann komentar karena mereka tidak menonton langsung debat tersebut, dengan berbagai alasan.
Inilah beberapa orang yang menonton dan mau memberikan komentar kepada ABC Indonesia.
BACA JUGA: Debat Perdana Capres-Cawapres RI Minim Serangan
Moh Abdul Hakim, mahasiswa PHD bidang Psikologi Sosial dan Politik di Massey University, Auckland (Selandia Baru) Photo: Moh Abdul Hakim mahasiswa Phd Massey University Auckland, Selandia Baru (Istimewa )
Secara umum, saya melihat debat semalam masih sebatas adu retorika saja dan cenderung membosankan.
Kedua pasangan tidak banyak menyampaikan data-data statistik yang mendukung argumen mereka, sehingga jawaban-jawaban yang diberikan hanya enak didengar di telinga saja, tetapi belum menyentuh pokok-pokok persoalan.
Ketika menanggapi pertanyaan-pertanyaan tekait penanganan kasus pelanggaran HAM dan penegakan hukum tebang pilih, misalnya, Jokowi seringkali memberikan jawaban-jawaban yang sangat normative.
Katanya, kalau Prabowo punya data, ya laporkan saja. Ini agak mengecewakan.
Sebenarnya saya mengharapkan lebih dari sekedar jawaban normatif, tetapi juga menjelaskan bagaimana Jokowi memastikan kasus-kasus semacam penganiayaan Novel Baswedan itu bisa dituntaskan secepatnya.
Di sisi lain, jawaban-jawaban dari pasangan Prabowo dan Sandi juga sering terdengar ambigu.
Saat ditanya mengapa ada banyak mantan koruptor di daftar caleg Gerindra, Prabowo memberikan jawaban yang bertele-tele dan bahkan terdengar kontradiktif.
Katanya, asal diperbolehkan oleh UU mengapa mesti koruptor mesti dilarang jadi caleg? Yang penting, Gerindra anti korupsi.
Tetapi di sisi lain, saya melihat ada sisi positif dari debat semalam. Ada beberapa pertanyaan dari masing-masing pasangan ke lawan debatnya yang cukup relevan dan valid.
Seperti pertanyaan Prabowo, mengapa ada kebijakan impor beras yang nggak sinkron antara Menteri Perdagangan dan Kepala Bulog?
Mengapa ada kesan Jokowi bagi-bagi kekuasaan ke para relawan dan partai pendukungnya?
Sementara di sisi lain, pertanyaan Jokowi tentang koruptor di daftar caleg Gerindra berhasil menunjukkan inkonsistensi sikap Prabowo tentang pemberantasan korupsi.
Donny Verdian, blogger senior Indonesia, design consultant tinggal di Sydney Australia. Photo: Donny Verdian, blogger senior Indoensia, tinggal di Sydney (Istimewa)
Debat semalam menarik. Awalnya cukup membosankan karena isinya seperti pidato saja tapi ketika terjadi interaksi antar kedua paslon, debat jadi hidup.
Mereka saling menyerang tapi tetap ada dalam koridor kepatutan sehingga akhirnya ya adem lagi.
Semoga yang terjadi hingga ke level akar rumput ya tetap seperti itu, jangan sampai panas, hangat boleh lalu bersatu lagi apapun hasilnya dalam Pilpres mendatang.
Saya bisa melihat perbedaan jelas visi antar para calon.
Contohnya soal korupsi. Ketika ditanya bagaimana cara mengantisipasi angka korupsi, paslon 02 (Prabowo Sandiaga) memberi jawaban yang menurutku tidak substantif dengan mengatakan caranya menaikkan gaji pejabat.
Sementara paslon 1 (Jokowi-Ma'ruf Amin) lebih berpikir progresif dan out of the box dengan memperbaiki sistem screening kepegawaian. Antoni Tsaputra, penyandang disabilitas, kandidat PhD di Sekolah Ilmu Sosial University of New South Wales Sydney Photo: Antoni Tsaputra, penyandang disabilitas, mahasiswa PhD di UNSW Sydney (Istimewa)
Saya hanya ingin mengomentari terkait isu disabilitas dalam kategori HAM yang kebetulan menjadi salah satu materi debat.
Pertanyaan terkait disabilitas sangat bagus dan sebenarnya membutuhkan jawaban konkrit.
Disayangkan jawaban yang diberikan oleh kedua Paslon sangat normatif.
Menarik ketika salah satu Paslon menyebutkan pergeseran paradigma terhadap isu disability yaitu dari charity atau bantuan sosial menjadi berbasis hak atau rights-based approach.
Namun makna dari peruibahan paradigma tersebut dan bagaimana contoh konkrit implementasinya kurang terlihat.
Rights-based approach to disability tidak hanya soal kesetaraan.
Ini sebenarnya berkenaan dengan keterlibatan aktif dan partisipasi mereka yang menyandang disabilitas.
Kesetaraan yang dicontohkan dengan keseteraan pemberian hadiah masih bernuansa charity.
Menurut saya untuk penyandang disabuilitas kepemilikan (equity) lebih penting dibanding kesetaraan (equality).
Pemberian lapangan kerja untuk disabilitas bukan solusi baru. UU sudah menjamin hak penyandang disabilitas untuk pekerjaan.
Seharusnya dijelaskan strategi konkrit untuk menjamin peningkatan lapangan kerja yang bagus bagi penyandang disabilitas misalnya sektor publik atau swasta diwajibkan tidak hanya memberi peluang kerja tapi juga penyediaan akses dan akomodasi yang baik yang diperlukan di tempat kerja sesuai kebutuhan penyandang disabilitas yang sangat heterogen.
Poin dari wapres paslon 1 juga penting terkait perlunya mengubah mindset masyarakat namun sayang langkah konkrit untuk perubahan mindset itu tidak jelas.
Intinya respon kedua Paslon sangat normatif. Iwan Awaluddin Yusuf, Mahasiswa PhD dan dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang sedang menjalani studi di Monash University. Photo: Iwan Awaluddin Yusuf mahasiswa PhD Monash University (Istimewa)
Dari debat perdana Capres Cawapres 2019 semalam yang saya tonton melalui streaming menurut saya, kedua kandidat belum banyak menampilkan adu gagasan dan program sesuai tema yang ditekankan KPU.
Sepertinya pemilih akan tetap meneguhkan pada pilihan awalnya masing-masing, tidak terpengaruh hasil debat.
Penilaian dan diskusi masyarakat dari debat semalam sayangnya lebih banyak terfokus pada soal elementer seperti keterampilan berbicara di depan umum, kesalahan verbal nonverbal kedua paslon selama debat, bukan mengkritisi substansi materi dan program yang disampaikan.
Terlepas dari itu, saya menganggap tetap perlu dan menantikan sesi debat berikutnya.Leopold Sudaryono, mahasiswa PhD di Australian National University di Canberra Photo: Leopold Sudaryono, Mahasiswa Phd di ANU Canberra (Istimewa)
Untuk topik semalam, bagi pemilih rasional dan terbiasa dengan debat kandidat yang berkualitas, keduanya sebenarnya tidak cukup benar-benar meyakinkan.
Saya melihat debat kemarin itu antara "orang yang kurang mengerti" (yaitu kubu Jokowi-Ma'ruf Amin) VS "oang yang tidak perduli"(Prabowo-Sandiaga Uno).
Saya mungkin bias, karena dulu pernah menjadi pengacara Kontras, tapi dari putaran pertama ini Jokowi sedikit lebih baik presentasinya tentang integritas.
Untuk sub-topik korupsi dan hukum, pentingnya pembenahan sistem untuk memperkuat integritasm bagi pemilih rasional, langkah yang disampaikan Jokowi lebih beresonansi
Untuk topik HAM, secara substansi sebenarnya Jokowi kurang kuat, tapi dia bisa menekankan apa yang sudah dilakukannya.
Debat pertama hari Kamis malam akan dilanjutkan dengan empat debat berikutnya sampai pada hari pemilu dan pemilihan presiden tanggal 17 April 2019.
Debat kedua yang akan dilakukan tanggal 17 Februari akan membahas masalah energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, lingkungan hidup.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Anjing Terlatih Bantu Saksi Lewati Proses Sidang Penuh Tekanan