jpnn.com - Dyah Utami Nugraheni (19), warga Nyamplung Kidul, Balecatur, Gamping, Sleman bukanlah dari keluarga kaya. Tapi di tengah kehidupan yang serba-terbatas, anak yatim itu justru bisa lolos menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM).
DWI AGUS, Sleman
BACA JUGA: Awas, Copet Berkeliaran di Candi Borobudur
BANYAK pihak menganggap ekonomi merupakan syarat penting untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, bagi Dyah, keterbatasan ekonomi bukan alasan untuk me-nyerah dalam mengenyam pendidikan.
Berangkat dari keluarga tak mampu, Dyah tak menyerah begitu saja. Jawaban atas usahanya berbuah manis.
BACA JUGA: Mantan Suami Ussy Sulistiawaty, Wow Banget!
Dia diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran UGM melalui jalur Bidikmisi. Karenanya, Dyah dibebaskan dari biaya kuliah hingga usai.
”Bagi saya keterbatasan ekonomi bukan alasan menyerah untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Selama masih berjuang, harus mengupayakan mimpi kita. Itulah kenapa saya optimistis bisa melalui jalur beasiswa Bidikmisi ini,” katanya kepada Radar Jogja (Jawa Pos Group) belum lama ini.
BACA JUGA: Ketua MPR RI Pantau Arus Balik di Bakauheni
Dyah mengungkapkan, menjadi dokter adalah impiannya sejak kecil. Baginya, impian itu tak sekadar cita-cita, tapi juga sebuah misi tentang kesehatan. Itulah mengapa dia sangat bahagia ketika diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM Jogjakarta.
”Dapat kabar diterima di UGM dari kakak. Saya langsung bersyukur dan berpelukan dengan ibu. Pastinya tidak menyangka, karena pesaing sangat banyak dan ketat,” ujarnya.
Dia menuturkan, keinginannya menjadi dokter berangkat dari lingkungan kampungnya. Meski saat ini akses ke layanan kesehatan mudah, namun masih belum merata.
Jumlah dokter di masyarakat pun belum sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Di desa tempat Dyah pun keberadaan dokter masih minim. Akibatnya ketika ada orang yang sakit harus berjibaku menuju perkotaan.
Berangkat dari kepedulian itulah Dya ingin mengabdi sebagai dokter bagi masyarakat. ”Saya berharap ilmu yang saya dapat akan berguna ke depannya,” tutur bungsu dari tiga bersaudara itu.
Prestasi Dyah sendiri memang terlihat menonjol sejak duduk di bangku SD. Ia berulang kali menjadi juara kelas bahkan hingga duduk di bangku SMA. Perasaan bahagia pun hingga ke ibunda Dyah, Ngatinem. Perempuan 58 tahun itu merupakan tulang punggung keluarga sejak suaminya meninggal pada 2007 silam.
Untuk menghidupi keluarga, Ngatinem berjualan gorengan dan bekerja serabutan. Hal itu ia lakukan agar anak-anaknya bisa meraih pendidikan tinggi. ”Saya mendukung anak untuk bisa mengenyam pendidikan,” ujarnya.(ila/ong/jpg/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Korban Lakalantas Didominasi Anak Sekolah
Redaktur : Tim Redaksi