JAKARTA - Upaya menekan ekspor barang tambang mentah terus bergulir. Satu per satu perusahaan tambang pun mengajukan izin ekspor tambang. Hingga saat ini, Kementerian Perdagangan mencatat telah mengeluarkan 13 Surat Persetujuan Ekspor (SPE) tambang, dari total 107 rekomendasi izin yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Deddy Mulyadi memerinci, ketiga belas perusahaan yang telah mengantongi SPE tersebut diantaranya 11 perusahaan bergiat di sektor tambang nikel, kemudian dua perusahaan untuk ekspor bijih besi, lalu satu perusahaan bauksit.
"PT Antam (Aneka Tambang) mengajukan dua, yakni untuk bijih besi dan nikel. Tapi tetap ada 13 perusahaan," ungkapnya Jumat (22/6).
Menurut Deddy, tak semua rekomendasi ekspor yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM disetujui. "Kan tidak semua yang mengajukan dikabulkan. Saat ini yang masih proses di ESDM ada 57 surat izin, tapi belum direkomendasikan ke kita (Kemendag)," jelasnya.
Dia melanjutkan, Kamis kemarin (21/6), sedang ada pemrosesan 42 izin di tingkat Kementerian ESDM. "Tapi yang dikasih rekomendasi ke kita hanya 19 saja. Tapi mungkin hari ini (21/6) ada beberapa yang masuk," paparnya.
Terkait kecaman Jepang tang bakal membawa peraturan ekspor tambang ke meja WTO (World Trade Organization), Deddy membantah regulasi tersebut bertentangan dengan aturan WTO. Pasalnya, WTO sejatinya membolehkan suatu negara melarang adanya ekspor yang berkaitan dengan K3L, atau kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan hidup.
"Jadi kita kan melakukan pelarangan itu konsennya ke lingkungan, karena ada kencederungan dieksploitasi sehingga cepat habis. Sehingga itu seharusnya yang dibolehkan WTO karena dasarnya terhadap sutainability," terangnya.
Deddy menambahkan, pihaknya juga menekankan adanya pengolahan raw material supaya ada nilai tambah di industri hilirisasi tambang. "Kalau ada negara terganggu, kan bisa kerjasama dengan kita, membangun di sini, sehingga mereka tidak kekurangan produk tersebut. Mungkin di sini prosesnya tidak sampai final, tapi paling tidak ada nilai tambah di sini, dan menggenjot tenaga kerja. Sampai sekarang kita sebenarnya tidak pernah menerima secara formal keberatan dari negara lain terhadap peraturan itu," paparnya
Saat ini, harga nikel-yang merupakan bahan baku penguat stainless steel pada produk rumah tangga hingga tangki avtur pesawat-diproyeksi mengalami peningkatkan yang signifikan. Diprediksi ada kenaikan mencapai 18 persen dari rata-rata USD 20 ribu per metric ton pada kuartal ke empat 2012 mendatang.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang, Negeri Sakura tersebut mengimpor 3,65 juta ton bijih nikel pada 2011. Sementara Indonesia menyuplai sebesar 1,95 juta ton, atau sebesar 53 persennya. Berikutnya, Jepang juga mengimpor bijih nikel dari New Caledonia (27 persen), dan Filiphina (19 persen). (gal/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumbangan Wajib Keagamaan Jadi Pengurang Pajak
Redaktur : Tim Redaksi