Hanya 3 Hakim Setuju Putusan MK yang Kontroversial Itu

Selasa, 17 Oktober 2023 – 09:59 WIB
Suasana sidang putusan MK di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10). Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menilai hanya tiga orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Basarah mengungkap hal tersebut untuk menanggapi perbedaan sikap hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum.

BACA JUGA: Putusan MK Berbeda setelah Makan Siang, Ini yang Terjadi

"Apabila dicermati secara detail putusan tersebut, maka terdapat persoalan mendasar dalam putusan MK itu," katanya pada Senin (16/10).

MK dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan “mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian”.

BACA JUGA: Simak di Sini Putusan MK yang Membuka Peluang Gibran jadi Capres, Ada yang Aneh?

Menurut dia, persoalan tersebut berkaitan dengan amar putusan, bahwa amar putusan MK, yaitu 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

Terhadap amar putusan tersebut, ada empat hakim konstitusi yang menyatakan "dissenting opinion" (pendapat berbeda) dengan menyatakan “menolak permohonan tersebut”, yakni:

BACA JUGA: Putusan MK Sudah Jelas, Petinggi Gerindra Langsung Menghubungi Gibran

  1. Wahiduddin Adams
  2. Saldi Isra
  3. Arief Hidayat
  4. Suhartoyo

Selain itu, terdapat dua hakim konstitusi yang oleh putusan disebut memiliki 'concurring opinion' (alasan berbeda), yaitu:

  1. Enny Nurbaningsih
  2. Daniel Yusmic P. Foekh

Menurut Basarah, bila dicermati lagi pendapat dua hakim konstitusi tersebut, maka sejatinya kedua hakim konstitusi tersebut menyampaikan 'dissenting opinion' karena kedua hakim konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda soal amar putusan.

Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya:

“Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang”.

Kemudian, menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh amar putusannya seharusnya:

“Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi”.

Artinya, kata Basarah, sejatinya hanya tiga orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar putusan itu (berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah).

"Sisanya enam hakim konstitusi lainnya memiliki pendapat berbeda berkaitan dengan amar putusan. Oleh karena itu, sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon," ujar dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, Jawa Timur itu.

Atau, kata dia, kalau mau dipaksakan bahwa lima orang hakim mengabulkan permohonan, maka titik temu di antara lima orang hakim adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah gubernur.

"Dengan demikian putusan MK tidak dapat dimaknai bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebagai bupati/wali kota," katanya.

Menurut politikus PDIP ini, atas putusan yang problematik seperti itu sudah selayaknya untuk tidak serta merta diberlakukan karena mengandung persoalan, yaitu kekeliruan dalam mengambil putusan yang berakibat pada keabsahan putusan.

"Putusan semacam ini jika langsung ditindaklanjuti oleh KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan. Untuk itu sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan, dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini," tutur Basarah. (antara/jpnn)

mkri

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler