jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Saleh Partaonan Daulay, menilai Denny JA tidak memiliki kepentingan apa pun menyangkut sidang Isbat. Pernyataannya, sidang yang digelar sehari sebelum lebaran memertontonkan kebodohan muslim Indonesia di mata dunia, diduga hanyalah beranjak dari kegelisahan selama ini.
"Pandangan Denny bisa jadi beranjak dari rasa nasionalisme. Kemungkinan besar ia merasa kasihan dan iba melihat cara umat Islam menetapkan puasa dan lebaran. Sebagai orang Indonesia, Denny merasa terpanggil untuk angkat bicara walaupun bidang kajiannya selama ini bukan agama dan astronomi," ujarnya di Jakarta, Jumat (9/8).
BACA JUGA: 10 Ribu Personel Polisi Amankan Arus Balik ke Jakarta
Ada beberapa alasan mengapa Daulay mengajak pemerintah maupun masyarakat Indonesia merenungi pernyataan Denny tersebut. Yaitu sebagai pengamat sosial politik, pernyataan Denny dinilai pasti didorong oleh pandangan objektif dan tidak mungkin disampaikan atas dasar pesanan ormas atau kelompok tertentu.
"Walau sidang isbat dihadiri dan disepakati seluruh ormas Islam di Indonesia, bukan berarti juga keputusan harus diikuti seluruh warga negara," katanya.
BACA JUGA: Din Syamsuddin: Pimpin Ormas Lebih Berat Daripada Presiden
Selain itu, tidak ada juga undang-undang atau aturan yang mengharuskan warga negara mengikuti hasil sidang itsbat. Kalaupun undang-undang dan aturannya dibuat, Daulay memastikan hal tersebut akan kontraproduktif, karena tidak semua warga negara bisa mengikutinya.
"Penetapan awal Ramadan dan idul fitri adalah bagian dari keyakinan. Negara tidak bisa mencampuri keyakinan warga negara. Penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri adalah bagian dari keyakinan. Negara tidak bisa mencampuri keyakinan warga negara," katanya.
BACA JUGA: Ical Siap Berpasangan Dengan Siapapun
Daulay juga menilai walaupun ada pernyataan sidang isbat tidak memiliki muatan politik apa pun, namun tetap saja sinyalemen ke arah tersebut tetap ada.
"Pasalnya, satu-satunya negara di dunia yang menetapkan 1 Ramadan dan 1 Syawal melalui sidang isbat hanya Indonesia. Kalau bukan bermotif politik, lalu apa yang melatarbelakanginya? Jika sidang dengan menghadirkan seluruh ormas Islam di Indonesia untuk kebersamaan, lalu mengapa pendapat sebagian diterima sebagian lain ditolak?" katanya.
Daulay khawatir Jangan-jangan sidang itsbat itu sendirilah sumber ketidakbersamaan. "Kalau semua orang dibiarkan melaksanakan agama sesuai keyakinannya, dipastikan kebersamaan tetap terjalin. Buktinya umat Islam dan umat beragama lain bisa rukun walaupun ada perbedaan teologis yang mustahil disatukan," tegasnya.
Sebelumnya pakar riset politik Denny JA berharap tahun ini merupakan tahun terakhir pemerintah menggelar dan membiayai sidang isbat sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri.
"Masyarakat membutuhkan kepastian (mengenai Idul Fitri) lebih awal. Pemerintah sudah membuat tanggal merah hari lebaran dalam kalender yang kita terima sejak 1 Januari. Seharusnya pemerintah konsisten. Lagi pula menentukan Lebaran di H-1 setelah Magrib hanya mempertontonkan keterbelakangan umat Islam di era science," ujarnya di Jakarta, Jumat (9/8).
Denny mengingatkan, saat ini merupakan era dimana manusia sudah bisa menjelajah antariksa dan komputer telah menyatukan dunia. Karena itu Menteri Agama harus memperhatikan hal tersebut sehingga tidak lagi menghamburkan uang rakyat untuk membiayai Sidang Isbat di H-1.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Surya Yakini Endriartono Tak Terbujuk Ikut Konvensi
Redaktur : Tim Redaksi