Harapan Ketua MPR Terkait Suhu Politik Tanah Air

Rabu, 18 Desember 2019 – 21:42 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo didampingi Wakil Ketua MRP Jazilul Fawaid dan Hidayat Nur Wahid saat berkunjung ke Redaksi Tribun Network, di Jakarta, Rabu (18/12/2019). Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan bahwa salah satu tugas penting yang diemban lembaga pimpinannya adalah menyejukkan suhu politik. Menurutnya, suhu politik yang sejuk akan bisa menstimulasi pergerakan ekonomi nasional yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.

Bamsoet -panggilan akrabnya- menyatakan bahwa pihaknya menjalankan rekomendasi MPR RI 2014-2019 tentang amendemen terbatas terhadap UUD NRI 1945 guna menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara. Untuk itu, MPR RI 2019-2024 memulainya dengan melakukan silaturahmi kebangsaan ke berbagai elemen masyarakat.

BACA JUGA: Politik Balas Budi di Balik Wiranto dan Tahir jadi Wantimpres

Menurut Bamsoet, dirinya bersama para wakil ketua MPR telah mengunjungi Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, pimpinan partai politik, organisasi kemasyarakatan seperti PBNU, Muhammadiyah, hingga para purnawirawan dan media massa, serta berbagai elemen bangsa lainnya dalam rangka menyerap aspirasi mengenai amendemen.

“Sehingga tidak ada satu pun unsur masyarakat yang tak didengar dan tak dilibatkan. Dengan demikian wacana amendemen ini tidak mengganggu kesejukan suhu politik" ujar Bamsoet dalam kunjungan ke sebuah kantor media di kawasan Palmerah, Jakarta, Rabu (18/12).

BACA JUGA: MPR RI: Silaturahmi Kebangsaan Bisa Menciptakan Stabilitas Politik

Turut mendampingi Bamsoet antara lain Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid (F-PKB) dan Hidayat Nur Wahid (F-PKS). Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menegaskan, amendemen terhadap konstitusi merupakan hal yang lazim dilakukan oleh berbagai negara dunia.

Bamsoet menambahkan, setiap negara selalu menghadapi tantangan yang berbeda dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sebagai contohnya adalah Amerika Serikat yang sejak Deklarasi Kemerdekaan pada 4 Juli 1776 sudah melakukan 25 kali amandemen atas konstitusinya.

BACA JUGA: Harapan Bamsoet Kepada Forum Komunikasi dan Aspirasi Papua

Adapun Malaysia sejak merdeka pada 31 Agustus 1957 telah melakukan 57 kali amendemen. Sementara Indonesia sejak kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan pengesahan konstitusi pada 18 Agustus 1945, baru melakukan empat kali amendemen.

“Amendemen pertama ditetapkan pada 21 Oktober 1999, kedua ditetapkan pada 18 Agustus 2000, ketiga ditetapkan pada 9 November 2001 dan keempat ditetapkan pada 10 Agustus 2002. Setelah lebih kurang 17 tahun usai amendemen keempat, tentu banyak pelajaran yang bisa diambil, khususnya dalam hal penyempurnaan konstitusi agar kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin membaik," tutur Bamsoet.

Wakil ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, pada saat merumuskan dan menetapkan konstitusi, para pendiri bangsa juga memberikan ruang bagi generasi penerus untuk melakukan penyempurnaan terhadap konstitusi. Sebagaimana bisa disimak dalam pernyataan Soemitro Kolopaking pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 11 Juli 1945 yang mengusulkan supaya konstitusi yang disusun bisa diubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.

"Bahkan Ir. Soekarno yang saat itu menjabat Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam pengesahan konstitusi pada 18 Agustus 1945 mengatakan bahwa ketika Indonesia sudah bernegara di dalam suasana lebih tenteram, maka kita dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna. Artinya, pada pendiri bangsa tidak mengharamkan adanya perubahan terhadap konstitusi negara. Yang tak boleh diubah adalah Pembukaan (preambule), karena didalamnya terdapat dasar berdirinya Negara Indonesia dan cita-cita luhur bangsa Indonesia," tandas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum SOKSI ini memaparkan, saat ini setidaknya ada enam usulan pokok yang berkembang di masyarakat seputar amendeman UUD NRI 1945. Pertama, perubahan terbatas hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara.

Kedua, kembali ke UUD 1945 yang asli, setelah itu melakukan perubahan melalui adendum. Ketiga, kembali ke UUD sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

“Keempat, penyempurnaan UUD NRI 1945 hasil amandeman ke-4. Kelima, perubahan UUD NRI 1945 secara menyeluruh. Dan keenam, tidak perlu melakukan amandemen. Semua usulan tersebut akan dielaborasi lebih lanjut oleh MPR RI melalui Badan Pengkajian dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI," papar Bamsoet.

Legislator dari daerah pemilihan (Dapil) VII Jawa Tengah itu menegaskan, dari berbagai ragam usulan tersebut telah mengerucut pada kesamaan pandangan tentang pentingnya kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara. Mengenai bentuknya, apakah melalui TAP MPR RI atau Undang-Undang, di beberapa partai politik terdapat perbedaan.

Bamsoet memerinci, Fraksi Golkar, PKS, dan Demokrat di periode MPR RI 2014-2019 mengusulkan pembuatan Pokok-Pokok Haluan Negara melalui Undang-Undang. “Jadi tak perlu melalui TAP MPR yang mengharuskan adanya amandemen UUD NRI 1945,” katanya.

Memasuki MPR RI 2019-2024, konstelasi bisa saja berubah. Sebab, partai-partai politik kini tengah melakukan kajian lebih medalam terkait amandemen UUD NRI 1945.

“Karena itu, waktu golden time hingga 2023 akan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh MPR RI dalam menyerap aspirasi publik," pungkas Bamsoet.(eno/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler