"SKSP itu penting, karena membawa konsekuensi negara menjadi sejajar dengan pengusaha. Karena itu pemerintah harus berhati-hati dalam mendefinisikan SKSP," kata Satya Widya Yudha, di press room DPR, Senayan Jakarta, Kamis (29/11).
Dikatakannya, konsekuensi dari putusan MK itu antara lain terjadi perubahan dari rezim kontrak menjadi rezim izin. "Rezim izin itu bagus bila kita menguasai permodalan dan teknologi dimana negara memiliki hak penuh terhadap sumber Migas."
Tapi bila dikaitkan dengan meningkatnya peran Pertamina selaku BUMN dalam usaha Migas, maka perlu diimbangi dengan perubahan UU BUMN yang ada. Karena dalam UU BUMN dijelaskan bahwa bila perusahaan milik negara itu merugi, maka itu termasuk kerugian negara pula.
"Investasi di sektor Migas bisa mencapai Rp 800 triliun. Kalau tidak ada hasilnya, maka itu ditanggung negara dan menjadi kerugian negara," kata Satya Widya Yudha.
Terkait dengan penguatan Pertamina, lanjutnya, DPR telah menyiapkan beberapa kajian akademis dan mengundang pengamat terkait UU Migas nanti. Ada beberapa opsi peningkatan peran Pertamina, misalnya pertama dengan pengelolaan 50-50 persen, atau menyerahkan sepenuhnya kepada Pertamina untuk mengelolanya.
"Selain itu, perlu dimasukkan usulan adanya dana petroleum fund agar negara dapat mengembangkan sektor Migas. Seperti halnya ketika mau tender blok Migas, maka kita memiliki modal awal, dan seharusnya hal itu memasukkan naskah akademis secara komprehensif," sarannya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rp6 Triliun Untuk Tambah Kuota 1,2 Juta KL
Redaktur : Tim Redaksi