Hardiknas, Krisis Kebangsaan, dan Pendidikan Nasional Indonesia

Minggu, 02 Mei 2021 – 15:22 WIB
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ialah momentum untuk refleksi demi pembangunan bangsa. Foto: Fathan Sinaga/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ialah momentum untuk refleksi demi pembangunan bangsa terutama demi menguatkan nilai-nilai kebangsaan di tengah ancaman ideologi trans-nasional.

Menurutnya, peringatan Hardiknas tahun ini harus diletakkan pada konteks historis dan reflektif.

BACA JUGA: Peringati Hardiknas 2021, Mas Nadiem Berbusana Khas NTT, Nih Penampakannya

"Mengapa tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional? katanya dalam keterangan resmi, di Jakarta, Minggu (2/5).

“Seperti kita ketahui, 2 Mei adalah hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, yakni Ki Hajar Dewantara. Selain sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar merupakan tokoh kebangsaan, yang bersama dua tokoh lain; Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo kita sebut sebagai Tiga Serangkai. Tiga tokoh inilah yang mengenalkan ideologi nasionalisme di Indonesia, dan menjadi guru dari tokoh pergerakan nasionalisme seperti Bung Karno," urai Ahmad Basarah yang juga Anggota Komisi Pendidikan DPR ini

BACA JUGA: Hardiknas 2021: KPAI Beri Catatan Penting untuk Mas Nadiem, Tolong Diperhatikan

Menurut Basarah, ketika Ki Hajar mendirikan Perguruan Taman Siswa pada Juli 1922, konsep dan praktik pendidikannya tidak lepas dari ideologi kebangsaan yang telah dikembangkan jauh hari.

Maka Taman Siswa lalu menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi rasa cinta Tanah Air, khususnya semangat memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

“Visi dan misi inilah yang harus kita kembalikan dalam membangun pendidikan nasional kita”, demikian ujar Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI ini.

Oleh karena itu, Basarah mengimbau kepada pemangku kebijakan pendidikan agar menauladani visi Ki Hajar Dewantara dalam membangun sistem pendidikan nasional.

Kontroversi terkini, yakni terkait Peraturan Pemerintah No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menurutnya, harus menjadi pengingat bersama visi kebangsaan tersebut.

Dia menyebut ketika pendidikan Pancasila tidak dijadikan mata pelajaran dan mata kuliah wajib dari jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Hal ini menjadi tanda bahwa Indonesia telah alpa akan visi kebangsaan dari konsep pendidikan nasional tersebut.

“Segenap stakeholder Pemerintahan mesti satu visi dan misi dengan semangat kebangsaan untuk menghidupkan kembali rasa cinta kepada ideologi negara. Menghasilkan peserta didik yang dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja memang realistis, tetapi apalah artinya jika generasi penerus bangsa kita tersebut nantinya akan meninggalkan apalagi mengkhianati nilai-nilai luhur bangsanya sendiri?" kata penerima Bintang Jasa Utama itu.

Dia membeberkan tantangan untuk menghidupkan dan membudayakan kembali pendidikan Pancasila menjadi langkah wajib untuk membangun semangat kebangsaan di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Hal ini menjadi tantangan besar sebab pendidikan kita belum mampu menghidupkan rasa kebangsaan di hati anak didik.

“Kita harus betul-betul merekonstruksi pendidikan kita demi penguatan kebangsaan. Sebab sejak Reformasi, bangsa ini telah digempur oleh berbagai ideologi trans-nasional yang merongrong nasionalisme kaum terpelajar. Kasus teror yang dilakukan Zakiah Aini di Mabes Polri pada 31 Maret lalu harus menjadi pelajaran berharga. Sebab Zakiah merupakan mahasiswi yang terpapar ekstrimisme. Kalau kita baca surat wasiat kepada keluarganya, terlihat betapa virus ekstrimisme telah membuat Zakiah mengafirkan Pancasila, NKRI, demokrasi dan nilai-nilai kebangsaan kita. Ini harus menjadi lampu merah sebab pendidikan Pancasila yang telah diwajibkan di perguruan tinggi, ternyata tidak mampu membuat Zakiah mencintai negeri dan bangsanya sendiri”, beber Basarah.

Belum lagi, lanjut dia, berbagai hasil survei yang melaporkan banyaknya geberasi muda kita yang sudah terpapar paham ideologi trans-nasional.

Dia memperingatkan agar pemangku kebijakan pendidikan tidak menganggap remeh krisis kebangsaan dalam pendidikan nasional.

Oleh karenanya, Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Malang itu ingin menghidupkan dan membudayakan kembali Pancasila sebagai pendidikan wajib, sifatnya mutlak dilakukan.

“Kalau kita lihat, ideologi trans-nasional ini memang menyasar ke kalangan terpelajar yang awam ilmu agama. Jika pendidikan kita tidak mampu membentenginya, maka pelan-pelan anak bangsa kita akan lebih mencintai falsafah kenegaraan bangsa lain, yang berbeda dan belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa kita sendiri," kata Ahmad Basarah. (jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler