Harga Elpiji Nonsubsidi Pantas Dinaikkan

Senin, 27 Februari 2012 – 03:03 WIB

JAKARTA - PT Pertamina (Persero) terus menerus menderita kerugian dalam bisnis penjualan elpiji nonsubsidi, yakni elpiji kemasan 12 kg dan 50 kg. Tercatat, pada 2011 lalu, perusahaan migas plat merah itu merugi hingga Rp 3,8 triliun lantaran harga jual elpiji nonsubsidinya masih di bawah harga keekonomian. Pemerintah didesak untuk tidak mendiamkan kerugian Pertamina ini.

"Sangat tidak pantas jika pemerintah membiarkan dan mendiamkan saja Pertamina terus menerus mengalami rugi di sektor penjualan elpiji nonsubsidi ini," kata Sofyano Zakaria, Pengamat dari Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) kepada INDOPOS (JPNN Group), Minggu (26/2).

Pilihan pemerintah melarang Pertamina menaikkan harga dan lebih memilih menutupi kerugian dari penjualan nonsubsidi tersebut dinilai tak tepat. Kebijakan itu, menurut Sofyano sama saja dengan mensubsidi golongan mampu. Sebab, pengguna kedua kemasan elpiji itu merupakan kalangan industri dan rumah makan (restoran).

"Ada apa pejabat-pejabat pemerintah yang terkait dengan Pertamina membiarkan saja setiap tahun Pertamina harus rugi menjual elpiji 12 kg. Elpiji 12 kg dominan digunakan golongan mampu. Nah, apakah pemerintah "takut" terhadap  golongan mampu sehingga berusaha membungkam mereka dengan tidak merestui Pertamina menyesuaikan harga elpiji 12 kg?" ucapnya.

Pemerintah dinilai mendua jika membiarkan kondisi ini berlanjut. Pasalnya, pemerintah bingung dengan subsidi BBM yang dinikmati orang kaya, akan tetapi tidak mempermasalahkan orang kaya menggunakan elpiji 12 kg yang disubsidi Pertamina.

Menurut dia, publik bisa saja berasumsi bahwa jangan-jangan ada sesuatu dibalik kerugian Pertamina di sektor penjualan elpiji 12 kg, dan ini sengaja didiamkan saja oleh oknum pemerintahan. "Para politisi dan aparat penegak hukum diam terhadap kerugian pertamina dalam mendistribusikan elpiji 3 kg, tetapi pemerintah menutup mata dan telinga pada kerugian disektor elpiji 12 kg," katanya.

Anggota komisi VII DPR dari Fraksi Golongan Karya, Bobby Rizaldi Adityo mengatakan, hampir 75 persen bisnis elpiji impor dengan formula CP Aramco, sehingga sangat tergantung dengan fluktuasi harga dunia. Disaat sekarang, dimana harga dunia sudah melampaui semua asumsi makro, termasuk ICP, sudah pasti harga elpiji harus disesuaikan.

Subsidi hanya diberikan untuk epiji 3 kg. Diatas kapasitas tersebut semestinya digunakan harga keekonomian. Kekhawatiran terjadinya pengoplosan jika elpiji nonsubsidi dinaikkan, bisa diatasi dengan manajemen distribusi dari Pertamina.

"Seperti, depo 3 kg tidak boleh satu lokasi dengan 12 kg, dan penyebaran paket 3 kg terdata dengan baik bukan sekadar bagi-bagi 40 juta tanpa identifikasi jelas. Harga refill 3 kg juga harusnya lebih murah karena setiap pengisian kembali tidak full 3 kg, tapi mungkin hanya 2,7 kg tapi masyarakat membayar full 3 kg. Intinya selain epiji 3 kg, harus disesuaikan harganya," paparnya.

Hanya saja, jika dinaikkan, Pertamina harus bisa bisa menjaga distribusi epiji 3 kg sehingga tidak terjadi pengoplosan. Selain itu, agar kompetitif dengan pasar, sebaiknya dibuka juga kran impor elpiji untuk perusahaan selain Pertamina. Sebab, jika hanya satu pengimpor, cenderung akan memonopoli dan pasar tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.(lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Diserbu Impor, Harga Gabah Lokal Anjlok


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler