jpnn.com, SAMPIT - Petani karet di Cempaga, Kalimantan Tengah, menjerit karena harga jual yang cukup rendah.
Sebagian petani malah berani menjadi buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
BACA JUGA: Suami Ngebet Begituan, Istri Beralasan Anak Belum Tidur, Mengerikan
Yupi, petani karet asal Desa Luwuk Ranggan mengeluhkan tidak adanya peningkatan harga karet.
BACA JUGA: Karet Berpotensi Dongkrak Ekspor
BACA JUGA: Pemindahan Ibu Kota Indonesia Mengerucut ke Dua Provinsi
Dia menjelaskan, pengepul membeli karet petani seharga Rp 5 ribu-Rp 7,5 ribu per kilogram.
”Harga di atas Rp 10 ribu per kilogram pernah. Namun, pas zaman presiden yang dahulu, bukan yang sekarang. Kalau saya, harapannya harga karet di petani bisa naik lagi,” ungkap Yupi, Minggu (19/5).
BACA JUGA: Berita Duka, Riski Febrianto Meninggal Dunia
Yupi mengaku kesulitan menyadap getah karet saat musim hujan. Sebab, getah akan bercampur dengan air hujan.
Para petani karet berharap pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk meningkatkan harga jual.
Jika kondisi itu dibiarkan, para petani akan beralih ke komoditas yang lebih menjanjikan.
”Ada banyak pengepul karet di sini. Mereka nanti yang ngambil ke sini. Ini panen sekitar 400 pohon. Kalau lahan, punya ada 3 hektare,” ujarnya.
Untuk menunggu getah karet bisa dijual ke pengepul, paling tidak para petani di Desa Luwuk Ranggan harus menanti perendaman selama beberapa hari.
Bahkan jika mulai mengering, karet bisa turun harga. Setelah dimasukkan ke karung, karet harus direndam ke air selama beberapa hari sampai diambil pengepul karet.
Jika karet tidak direndam, bobotnya bisa berkurang atau menyusut. (rm-97/yit)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mangkrak Seperti Proyek Hambalang, Bangunan Rp 25 Miliar Jadi Tempat Pipis
Redaktur & Reporter : Ragil