Merosotnya jumlah tenaga kerja musiman yang selama ini bekerja memetik buah dan sayuran di Australia, telah menimbulkan kerugian telah melebihi Rp500 miliar. Jumlah pekerja musiman di bidang pertanian menurun karena Austalia masih menutup perbatasan bagi warga asing Jumlah kerugian dalam delapan minggu pertama di musim panen di Australia telah melebihi AU$45 juta Harga sayuran dan buah di supermarket bisa naik karena biaya produksi dan panen akan dibebankan pada pembeli
BACA JUGA: Facebook Mulai Hapus Informasi Menyesatkan Soal COVID-19 yang Diunggah Pengguna
Dampak lanjutan dari situasi ini akan dirasakan konsumen yang akan merasakan kenaikan harga sejumlah produk pertanian di supermarket.
Pekan lalu, Daftar Kerugian Panen Nasional dari Departemen Pertanian telah mencatatkan kehilangan pendapatan petani lebih dari $45 juta atau sekitar setengah triliun rupiah.
BACA JUGA: Istri Dede Melihat Suaminya Embuskan Nafas Terakhir Setelah Tertabrak di Sydney
Padahal, pencatatan kerugian gagal panen tersebut baru mencakup periode sejak Desember 2020 atau sekitar dua bulan terakhir.
Itu pun, dalam delapan minggu terakhir, baru 65 petani yang melaporkan kerugian panen, padahal ada lebih dari 85.000 perusahaan pertanian di seluruh Australia.
BACA JUGA: Afrika Selatan Memutuskan Menunda Penggunaan Vaksin AstraZaneca
Selama ini buah dan sayur impor hanya menyumbang 15 persen dari pasokan harian di Australia.
Artinya, pasokan akan semakin ketat dirasakan oleh pedagang pengecer, sehingga harga di supermarket akan meningkat. Petani semangka yang ingin meninggalkan pekerjaannya
Petani semangka di Australia, Tony Vrankovich yang sudah 30 tahun melakukan usahanya di kawasan pertanian Carnarvon, Australia Barat, pada musim panen kali ini sangat terpukul.
Sebagian hasil kebunnya tak bisa dipanen sehingga terpaksa dihancurkan. Photo: Tony Vrankovich, petani semangka di Carnarvon Australia Barat kecewa karena hasil tanamannya tidak bisa dipanen. (ABC Rural: James Liveris)
Tony kini berpikir untuk coba mencari pekerjaan lain, setelah ia merasa sangat kecewa akibat tidak adanya orang yang bisa dipekerjakan untuk memamen buah semangkanya pada musim panen kali ini.
"Situasinya sangat sulit. Kami semua sudah berusaha keras mencari tenaga kerja dan banyak petani yang sangat rugi," katanya.
Di kebun miliknya ada 1 hektar lahan tanaman semangka yang siap panen dengan jumlahnya mencapai sekitar 100 ton buah semangka.
Lebih dari 40 persen buah tersebut terbuang percuma dan terpaksa dihancurkan dengan cara dibajak bersama tanah dengan kerugian mencapai miliaran rupiah.
"Kebun ini kami rawat dan jaga selama tiga bulan, sudah banyak uang yang ditanam di sini, dan akhirnya tak bisa dipanen. Hancur di depan mata sendiri," ujarnya.
Sebenarnya, daerah pertanian Carnarvon yang terletak di wilayah Gascoyne memiliki iklim yang sangat mendukung, sehingga produksi buah dan sayuran bisa dihasilkan dari sini ketika iklim di daerah produksi lainnya sedang tidak mendukung.
Namun Tony sudah berubah pikiran.
"Saya tidak akan menanam, tidak bisa lagi. Saya tidak akan mengambil peluang itu," ujarnya.
"Saya cukup yakin kalau jumlah pekerja akan lebih sedikit di masa depan. Saya juga sangat skeptis akan bisa menanam lagi, apalagi memanennya," katanya.
"Sekarang saya lagi beres-beres, kemudian akan pergi ke Perth mencari pekerjaan. Bila saya suka pekerjaan baru itu, saya akan tinggalkan kerja pertanian ini," ujar Tony. Jenis buah-buahan yang alami gagal panen
Gagal panen semangka yang dialami Tony Vrankovich bukanlah satu-satunya.
Saat ini, setiap minggunya industri hortikultura atau perkebunan di Australia merasakan dampak dari kurangnya tenaga kerja. Photo: Hingga beberapa waktu ke depan, harga buah dan sayuran di supermarket diperkirakan akan mengalami kenaikan. (ABC South West: Zoe Keenan)
Richard Shannon, manajer di Growcom, organisasi yang mewakili Federasi Petani Nasional, mengatakan situasi terburuk belum terjadi.
"Hingga saat ini, Queensland mencatat kerugian hingga $33 juta, New South Wales $8 juta, dan Australia Barat $2 juta," jelas Richard.
"Kami memperkirakan jumlahnya jauh lebih besar. Saya tahu ada pengusaha pertanian besar yang belum menyampaikan laporan kerugian," katanya.
Menurut perkiraannya, situasi gagal panen ini akan terus memburuk sepanjang tahun.
"Sampai saatnya lebih banyak orang yang masuk ke sektor hortikultura daripada yang meninggalkannya, maka situasi kita ini akan semakin parah," katanya.
Hingga saat ini, jenis tanaman produksi yang terkena dampak gagal panen adalah buah stroberi, sayur-sayuran, blueberry, dan pisang.
Richard menyebutkan bahwa pasokan buah dan sayuran secara nasional akan berdampak pada harga yang harus dibayar oleh konsumen.
"Perlu diakui dalam situasi normal, tingkat produksi di industri ini berlebih. Jadi menurut saya ini bukan soal hilangnya pasokan buah dan sayur yang berakibat langsung pada kenaikan harga. Tetap ada keuntungan, meski akhirnya memang harga akan naik," jelasnya. Khawatir Australia jadi negara pengimpor Photo: Salah satu petani pisang di daerah pertanian Carnarvon Australia Barat, Darryl Hardman, khawatir negara ini akan jadi pengimpor buah dan sayuran bila kekurangan tenaga kerja tidak ditangani. (ABC Rural: Lucie Bell)
Menurut Darryl Hardman, pemilik Desert Sweet Bananas, perkebunan pisang terbesar di Carnarvon, pihaknya juga merasakan dampak dari kurangnya tenaga kerja.
Gudang pengepakan buah pisang miliknya beroperasi setiap minggu sepanjang tahun. Sebagian besar produk pisangnya berahir di rak-rak supermarket besar.
Darryl mengaku frustrasi terbesar yang dia rasakan adalah kurangnya pekerja.
"Kami telah kehilangan banyak hasil panen karena berusaha mengimbangi situasi. Kami kehilangan sekitar 300 karton pisang setiap minggu," katanya..
"Jelas, tidak ada pekerja backpacker, mereka yang ada sekarang sudah menjalani masa 88 hari. Mereka akan segera pergi. Jadi kami perlu insentif lain untuk mendatangkan pekerja ke sini," jelas Darryl.
Ia mengatakan pekerja musiman asal negara-negara Pasifik bersedia datang ke perkebunan ini, namun menghadapi kendala biaya yang sangat besar.
Darryl menyebutkan biaya karantina untuk mendatangkan satu orang pekerja mencapai $4.000 atau sekitar Rp40 juta.
"Karantina di kebun pertanian seharusnya menjadi pilihan di Australia Barat, jika negara bagian lain diizinkan," katanya.
"Pasti ada cara untuk memangkas biayanya, karena bila tidak, maka kita akhirnya akan menjadi negara pengimpor buah dan sayuran," tambah Darryl Hardman. Lantas apa upaya Pemerintah Australia? Photo: Menteri Pertanian Australia Barat Alannah MacTiernan menolak usulan agar pekerja backpacker bisa dikarantina di kebun pertanian tempat mereka bekerja karena dianggap terlalu berisiko. (ABC News: Hugh Sando)
Menteri Pertanian Australia Barat, Alannah MacTiernan mengatakan Pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin untuk menangani masalah tersebut.
Ia berkata pihaknya tidak dapat berbuat banyak secara sepihak untuk menyelesaikan masalah kekurangan tenaga kerja asal negara lain ini.
"Kami berusaha memobilisasi tenaga kerja Australia Barat, mensubsidi biaya perjalanan mereka, membayarkan akomodasinya, serta mendatangkan pekerja dari negara Pasifik," ujarnya.
Menteri MacTiernan berkata, secara realistis, tidak ada negara yang akan membuka perbatasannya dalam waktu dekat hanya untuk memenuhi pasokan pekerja backpacker.
"Saat ini, kami tidak akan mempertimbangkan karantina yang dilakukan di kebun pertanian," kata Menteri MacTiernan.
Ia menyatakan melakukan karantina bagi pekerja backpacker di kebun pertanian merupakan risiko besar yang akan berdampak pada jutaan warga lainnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Curah Hujan Tinggi di Australia Barat Sebabkan Banjir, tetapi Petani Pisang Malah Bersyukur