JAKARTA – Gairah produksi peternak sapi perah kian turun karena harga jual susu sapi segar yang kian rendah. Itu diungkapkan oleh Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Budiana.
”Saat ini harga susu dengan total solid atau kekentalan 11,3 persen Rp 4 ribu per liter. Harga itu di bawah rata-rata,” terangnya usai menemui Menteri Perindustrian di Jakarta, Kamis (21/2). Menurut Teguh, normalnya harga susu dinaikkan menjadi Rp 4.300 per liter.
Ia mengungkapkan, banyak petani yang mengeluhkan harga rendah itu. Pasalnya saat ini biaya produksi juga kian tinggi, tapi harga susu malah makin turun. Bahkan, lanjutnya, banyak petani yang memotong sapi perahnya. Mereka tergiur oleh harga daging yang melambung.
Jika itu dibiarkan, lanjut Teguh, produksi susu sapi lokal akan kian menipis. Saat ini, produksi lokal hanya bisa memenuhi 25 persen kebutuhan nasional, sisanya harus impor. Dengan kondisi seperti itu target swasembada susu sapi pada 2020 bakal gagal. Ia memprediksi, nantinya susu lokal hanya bisa memenuhi 10 persen kebutuhan. ”Tahun lalu saja nilai impor susu mencapai USD 700 miliar,” ucapnya.
Teguh menjelaskan, kondisi seperti saat ini berbanding terbalik dengan zaman Orde Baru. Saat itu ada Inpres Nomer 2 tahun 1985. Beleid itu memberikan jaminan harga susu dan pantauan khusus oleh pemerintah. Sehingga peternak sapi perah pun semakin meningkat. Tapi pada 1997 beleid itu dilepas. Peternak harus menghadapi pasar bebas dengan penetapan harga yang bermacam-macam.
Di sisi lain, saat ini konsumsi susu masyarakat masih rendah yakni 10 liter per kapita per tahun. Angka itu masih sangat rendah dibanding negara lain di Asean. Teguh memberi contoh di Thailand, konsumsi susu 28 liter per kapita per tahun. Sedangkan di negara maju seperti Amerika dan Eropa konsumsinya mencapai 110 liter per kapita per tahun.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian mengatakan minimnya produksi susu lokal bukan masalah harga tapi populasi. Selain itu, sapi perah lokal dinilai kurang gizi sehingga produktifitas rendah. ”Angka kelahirannya juga rendah, mestinya bisa delapan kali tapi sapi perah Indonesia hanya bisa empat kali melahirkan,” terangnya.
Berdasar data Kementerian Peternakan, tahun lalu permintaan susu segar mencapai 6 juta liter per hari. Sedangkan produksi nasional sekitar 1,7 liter per hari. Jawa Timur masih menjadi sentra produksi terbesar. Kontribusinya 47 persen atau sekitar 800 ribu liter per hari. Setelah itu disusul Jawa Barat dengan rata-rata produksi 500-600 ribu liter per hari. (uma/dos)
”Saat ini harga susu dengan total solid atau kekentalan 11,3 persen Rp 4 ribu per liter. Harga itu di bawah rata-rata,” terangnya usai menemui Menteri Perindustrian di Jakarta, Kamis (21/2). Menurut Teguh, normalnya harga susu dinaikkan menjadi Rp 4.300 per liter.
Ia mengungkapkan, banyak petani yang mengeluhkan harga rendah itu. Pasalnya saat ini biaya produksi juga kian tinggi, tapi harga susu malah makin turun. Bahkan, lanjutnya, banyak petani yang memotong sapi perahnya. Mereka tergiur oleh harga daging yang melambung.
Jika itu dibiarkan, lanjut Teguh, produksi susu sapi lokal akan kian menipis. Saat ini, produksi lokal hanya bisa memenuhi 25 persen kebutuhan nasional, sisanya harus impor. Dengan kondisi seperti itu target swasembada susu sapi pada 2020 bakal gagal. Ia memprediksi, nantinya susu lokal hanya bisa memenuhi 10 persen kebutuhan. ”Tahun lalu saja nilai impor susu mencapai USD 700 miliar,” ucapnya.
Teguh menjelaskan, kondisi seperti saat ini berbanding terbalik dengan zaman Orde Baru. Saat itu ada Inpres Nomer 2 tahun 1985. Beleid itu memberikan jaminan harga susu dan pantauan khusus oleh pemerintah. Sehingga peternak sapi perah pun semakin meningkat. Tapi pada 1997 beleid itu dilepas. Peternak harus menghadapi pasar bebas dengan penetapan harga yang bermacam-macam.
Di sisi lain, saat ini konsumsi susu masyarakat masih rendah yakni 10 liter per kapita per tahun. Angka itu masih sangat rendah dibanding negara lain di Asean. Teguh memberi contoh di Thailand, konsumsi susu 28 liter per kapita per tahun. Sedangkan di negara maju seperti Amerika dan Eropa konsumsinya mencapai 110 liter per kapita per tahun.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian mengatakan minimnya produksi susu lokal bukan masalah harga tapi populasi. Selain itu, sapi perah lokal dinilai kurang gizi sehingga produktifitas rendah. ”Angka kelahirannya juga rendah, mestinya bisa delapan kali tapi sapi perah Indonesia hanya bisa empat kali melahirkan,” terangnya.
Berdasar data Kementerian Peternakan, tahun lalu permintaan susu segar mencapai 6 juta liter per hari. Sedangkan produksi nasional sekitar 1,7 liter per hari. Jawa Timur masih menjadi sentra produksi terbesar. Kontribusinya 47 persen atau sekitar 800 ribu liter per hari. Setelah itu disusul Jawa Barat dengan rata-rata produksi 500-600 ribu liter per hari. (uma/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bangun Rumah, Kemenpera Gandeng Ibu-ibu
Redaktur : Tim Redaksi