Lepasnya Provinsi Timor Timur dari Indonesia pada 1999 membuat warga di sana terbelah. Ada yang tetap menjadi WNI, ada juga yang memilih hijrah ke Timor Leste.
UMAR WIRAHADI, Timor Leste
NKRI Harga Mati. Tiga kata itu tertulis mencolok di dinding tembok. Sekitar 20 meter di depan bangunan bercat loreng itu terdapat gerbang besar dengan papan bertulisan Republika Demokratika Timor Leste. Itulah gerbang batas Indonesia dengan Timor Leste. Nah, di depan gerbang itu terdapat batas netral antardua negara.
"Biasanya Sabtu di sini ramai. Sebab, banyak warga dua negara yang saling mengunjungi," kata Komandan Pos (Danpos) Perbatasan Napan Letnan Dua (Letda) Iwan Junaidi kepada koran ini kemarin (12/2).
Perbatasan itu berada di Desa Napan, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT). Di pos perbatasan bertugas 17 personel TNI. Iwan mengungkapkan, hubungan antara petugas di pos penjagaan Indonesia dan Timor Leste cukup harmonis. Dua pihak bahkan kerap saling mengunjungi.
Terakhir, pihak Timor Leste diundang pada acara pergantian Danpos Penjagaan Napan pada 8 Januari lalu. "Kami biasa saling bertamu," tutur Prajurit Satu (Pratu) Nurdiawan.
Untuk bisa sampai di pos pintu lintas batas itu harus menuruni jalan berbukit setinggi 50 meter. Sedangkan untuk menuju pos Oeasilo di wilayah Timor Leste harus terlebih dahulu mendaki bukit.
"Kami harus saling menjaga. Hubungan kami (antara petugas Indonesia dan Timor Leste, Red) berjalan harmonis," kata Agenty Chefe (AC) Abilio Coi.
Dalam sistem militer di Indonesia, AC setara dengan sersan kepala (serka). Pria 33 tahun itu adalah kepala polisi perbatasan (unidade policia fathrulhamento) di pos itu.
Suasana di pos jaga begitu cair. Apalagi, suasana bukit begitu sejuk. Tanpa dikomando, dua personel TNI yang mengantar Jawa Pos langsung memanjat pohon kesambi yang berada di dekat pos. "Buah ini sering menjadi teman kami ngobrol," ungkap Pratu Wayan Junaidi.
Meski kini menjadi warga Timor Leste, Abilio Coi tidak bisa melupakan Indonesia. Nenek moyangnya berasal dari NTT. Dia memiliki saudara di Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU). Bibi dan kakak kandung Abilio adalah WNI. Yang unik adalah cara mereka bertemu. "Saya kebetulan tidak memiliki paspor. Jadi, ketemunya di bawah pohon rindang itu," kata Abilio, lantas terkekeh.
Karena rasa kekeluargaan yang erat pula, setiap ada kegiatan adat dua pihak saling memberi tahu. Lebih-lebih jika ada kabar duka. Mereka nekat menerobos batas negara. "Bahkan, ada yang nekat lewat jalan tikus," tuturnya.
Selain petugas keamanan, warga di sana penuh nuansa kekeluargaan. Kondisi itu tecermin di Desa Napan. "Kami memang masih memiliki satu nenek moyang. Budaya kami juga sama," kata Kepala Desa Napan Yohanis Anunu, 34.
Dia menjelaskan, di antara 1.036 jiwa warganya, 507 warga adalah eks penduduk Timor Timur yang bergabung dengan WNI. Sebagian besar warga Desa Napan memiliki kerabat di Timor Leste. Yang menarik, sebagian besar di antara mereka tak memiliki paspor.
Nah, untuk menyiasati aturan itu, mereka memilih lewat jalan pintas atau jalan tikus dengan menembus hutan dan perbukitan. "Mau bagaimana lagi. Warga di sini (Desa Napan, Red) rata-rata tak memiliki paspor," kata Yohanis.
Warga di sana sudah terbiasa memasuki wilayah Timor Leste. Salah satu faktornya adalah hewan ternak. Ternak milik warga Desa Napan kerap "jalan-jalan" hingga masuk wilayah Timor Leste. "Jika sudah sore, baru kami cari. Pasti nyarinya ke Tilos (Timor Leste, Red)," tutur lelaki tiga anak itu.
Yohanis mengaku tidak pernah ada masalah terkait hubungan warga dua negara. Yang menjadi masalah adalah penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) dan sembako. Beberapa SPBU di Kabupaten TTU kerap kehabisan BBM. Usut punya usut, hal itu dipicu oleh penyelundupan ke wilayah Timor Leste.
Atas aksi penyelundupan itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Timur Tengah Utara (TTU) sudah berupaya menghentikan. Wakil Bupati TTU Aloysius Kobes telah mengeluarkan surat edaran pada Juni 2011. Dalam surat bernomor Ek.541/202/VI/2011 itu ditegaskan bahwa para pembeli BBM dilarang menggunakan alat penampung besar seperti jeriken dan drum.
Sayangnya, imbauan itu tak banyak diindahkan warga. "Buktinya hingga sekarang banyak yang masih beroperasi," ujar Yohanis.
Menyelundupkan BBM ke Timor Leste menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Satu pembeli di NTT hanya boleh membeli maksimal 20 liter bensin dengan harga Rp 90 ribu. Nah, kalau dijual di Timor Leste, harganya melambung hingga dua kali lipat!
"Itulah yang membuat mereka tergiur. Tapi, itu sangat merugikan negara sendiri. Begitu juga halnya dengan sembako," tandas Yaohanis.
Pihak desa telah berulang-ulang mengimbau warga sekitar agar tak terlibat aksi penyelundupan. Namun, upaya itu kurang efektif. "Sebelum penyelundupan menjadi lebih besar, pemerintah yang lebih tinggi harus turun tangan," katanya. (*/c4/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jago Debat, Jiwa Politisi Sudah Kelihatan Sejak Sekolah
Redaktur : Tim Redaksi