Harry Widianto, Sosok Penting Perekonstruksi 'Hobbit' dan 'Java Man'

Bisa Dibuat Lebih Ganteng tapi Terhambat Kaidah Ilmiah

Senin, 10 Desember 2012 – 08:32 WIB
RUJUKAN: Harry Widianto dan Homo Erectus yang berhasil direkonstruksi. Foto: GUSLAN GUMILANG/JAWA POS
DI tangan Harry Widianto dan teman-teman, temuan Sangiran 17 "bermetamorfosis" dari fosil menjadi sosok manusia yang utuh, tinggi besar, dan berbulu. Kini menjadi rujukan penelitian evolusi manusia.
--------
Anggit Satriyo Nugroho - Sragen
--------
SIANG itu, di awal bulan ini,  Harry Widianto amat sibuk. Banyak pegawainya di Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS) atau Museum Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, yang hendak menemuinya. Karena itu, mereka harus duduk mengantre di depan kursi lobi.

Ada sedikit waktu longgar, ajudan Harry pun mempersilakan pegawai tersebut masuk ke ruangan pria 54 tahun tersebut. Selama ini mereka bisa menemui Harry bila museum libur seperti pada Senin, 26 November, lalu. Menurut aturan internasional, setiap Senin, museum memang rehat. Kesempatan itu juga dimanfaatkan untuk membersihkan koleksi museum. 

Harry tak sekadar kepala museum biasa. Kiprahnya di dunia arkeologi bisa dibilang cukup berjibun. Lihat saja, di perpustakaan museum di sebelah ruangan Harry. Sejumlah karyanya soal penggalian situs Sangiran dia pajang. Karya-karya tersebut juga menjadi kajian di kancah penelitian arkeologi tingkat internasional.

Tak hanya menulis buku. Harry juga terlibat dalam sejumlah proyek besar. Yang membanggakan ialah merekonstruksi tulang-belulang manusia purba menjadi sosok yang utuh. "Saya hanya berpikir. Kalau fosil itu hanya berupa tulang, tentu tak menarik. Harus ada bentuknya yang utuh seperti apa rekaannya. Tapi, ilmiah," ucap dia ketika ditemui di ruangannya (26/11).

Mimpi itu pun dia wujudkan. Namun, bukan pada Sangiran 17 yang termasuk kelompok Homo Erectus. Pada 2007, Harry mula-mula merekonstruksi temuan Homo Floresiensis.

Itu adalah jenis manusia purba yang banyak ditemukan di Liang Bua, Flores. Manusia yang otaknya memiliki volume kecil dan ukuran tinggi manusia dewasa hanya sepinggang.

Karena itu, manusia tersebut kerap disebut hobbit. Kendati bekerja di Museum Sangiran, Harry banyak terlibat dalam penelitian hobbit asal Flores itu. Dia mengatakan banyak menulis artikel ilmiah soal manusia yang diperkirakan hidup 94 ribu-130 ribu tahun lalu itu.

Harry tak menginginkan kajiannya mandek. Dia terpikir merekonstruksi Homo Floresiensis itu. "Awalnya saya bingung. Bagaimana mewujudkan ini. Namun, bila jenis manusia ini bisa diwujudkan dalam bentuk utuh, tentu menggegerkan. Saya berpikir keras dengan mimpi itu," katanya.

Saat berkuliah magister dan doktoral di Institute de Paleontology Humaine, Paris, Prancis, dia memiliki banyak kenalan. Salah seorang di antara mereka, seniman patung Prancis Elizabeth Daynes. "Saya kenal baik. Apalagi, dia mengetahui saya sebagai orang Jawa Tengah. Sangat hormat. Dia sebut saya Java Man," kata alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Harry lantas mengajak Daynes bekerja sama dan mewujudkan mimpinya tersebut. Harry memberikan petunjuk merekonstruksi Homo Floresiensis itu. "Tentu dengan sejumlah kaidah ilmiah. Saya yang memandu, Daynes pematungnya," katanya.

Selama enam bulan penuh Harry dan Daynes bekerja, jadilah bentuk utuh manusia hobbit tersebut. Tentu saja, dia juga dibantu oleh peneliti paleoantropologi yang lain.

Karya Harry dan Daynes tersebut lantas ditempatkan di Musee de l Homme, Paris, Prancis. Harry menyebut rekaan Homo Floresiensis tersebut lantas disempurnakan lagi pada 2010. Harry juga menempatkan salah satu karya besar Daynes tersebut di Museum Sangiran. 

Pada, 2010, dia bersama Daynes berusaha menyempurnakan itu. Dan kini Homo Floresiensis juga ditempatkan di Museum Sangiran. Berdiri di salah satu ruang, wajah Homo Floresiensis tampak menyeramkan.

Matanya cekung, rahang dan kening lebar, serta terlihat penuh bulu. Menurut Harry, karya itu setidaknya memberikan gambaran begitulah bentuk manusia purba Flores tersebut.

Kerja sama itu berlanjut dengan merekonstruksi Sangiran 17. Manusia yang tergolong Homo Erectus tersebut hidup sekitar 700 ribu tahun silam. Sangiran 17 menjadi bagian penting dalam perkembangan manusia purba.

Sebab, fosil tersebut ditemukan utuh. Berbeda dengan temuan lain, yang di antaranya hanya berupa potongan tengkorak. Harry dan Daynes bekerja sama lagi. Setengah tahun kemudian, Harry dan Daynes mewujudkan bentuk manusia purba Sangiran 17 itu.

Kendati lebih lama hidup, Sangiran 17 lebih tinggi dan besar. Dia juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan manusia modern. Saat Harry berfoto sama karyanya itu, terlihat dia hanya sepundaknya.

Soal wajah, sebenarnya juga tak berbeda. Rahangnya juga lebar dengan mata cekung dan jidat lebar dan menonjol. Ukuran kepalanya juga lebih besar. Kesamaan lain, tubuhnya juga penuh bulu.

"Bisa saja saya bikin lebih ganteng. Tapi, saya tersandung kaidah ilmiah juga. Tapi, ini yang penting: saya berhasil mewujudkan bentuk Java Man," kata Harry lantas terbahak. Menurut Harry, Java Man juga menjadi rujukan dalam penelitian evolusi manusia. Bahkan, Harry menyebut Sangiran sebagai Homeland of Java Man.

Dia amat bangga dengan karya Sangiran 17. Menurut Harry, Sangiran ibarat "istri keduanya". Sejak 1978, ketika menjadi mahasiswa di UGM, Harry sudah mengenal seluk-beluk Sangiran.

Dia berkali-kali melakukan penggalian fosil manusia di kawasan itu. "Sejak mahasiswa, saya sudah blusukan di kawasan situs Sangiran. Saya sangat paham karakter orang-orangnya pula. Karena itu, saya harus berbuat untuk Sangiran," ucapnya.

Dia kini berpikir untuk membikin proyek baru. Yakni, merekonstruksi gajah purba. Menurut dia, selama ini yang dipahami gajah purba (stegodon trigonochepalus) hanyalah satwa berukuran besar, lebih gede daripada umumnya.

Namun, bagaimana bila diwujudkan dalam bentuk utuh sesuai ukuran aslinya, belum ada peneliti yang melakukan. "Saya yakin, kalau gajah purba nanti terwujud, ini juga akan mengagetkan," katanya.

Saat Presiden SBY meresmikan Museum Sangiran yang baru pada Februari silam, Harry menuturkan bahwa SBY amat berkesan dengan bentuk Sangiran 17. Sejatinya, protokoler menjadwalkan SBY berada di museum tersebut selama satu jam. Namun, saking kagumnya, SBY sampai dua jam di museum itu. "Beliau banyak berdiskusi soal Java Man," katanya. (*/c4/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Manusia Perahu Bengawan Solo di Kanor, Bojonegoro, yang Terancam Punah

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler