Manusia Perahu Bengawan Solo di Kanor, Bojonegoro, yang Terancam Punah

Terbiasa Seminggu Penuh Hidup di Atas Air

Kamis, 06 Desember 2012 – 10:32 WIB
MANUSIA PERAHU: Aktifitas para masyarakat sekitar Bengawan Solo di Dusun Kendal, Desa Kabalan Kecamatan Kanor Bojonegoro yang sebagian hidupnya menghabiskan waktu di atas perahu. Mereka mancari nafkah dengan menacari ikan sepanjang Bengawan Solo. (30/11/12) FOTO: Guslan Gumilang/Jwa Pos

Di Kanor dan beberapa kawasan lain di Bojonegoro, budaya menjadi "manusia perahu" Bengawan Solo telah turun-temurun diwariskan. Namun, belakangan ini anak-anak muda setempat tak begitu berminat.

ANGGIT SATRIYO NUGROHO, Bojonegoro

SEBUAH perahu kecil baru saja bersandar di pinggir Bengawan Solo di Dusun Kendal, Desa Kabalan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sebuah tali tampar lantas ditambatkan di sebongkah kayu di pinggir sungai.

Dua awak perahunya, Dasim, 65, dan Marzuki, 61, lantas menurunkan barang bawaan dari perahu, yakni jaring ikan, peralatan memasak, pakaian ganti. Dengan agak tertatih mereka berjalan menuju tanggul bengawan karena hendak pulang ke rumah masing-masing yang tak jauh dari sungai legendaris itu.

Dasim dan Marzuki adalah bagian dari "peradaban" Bengawan Solo yang telah secara turun-temurun terbentuk di Kanor dan beberapa kawasan lain di Bojonegoro: manusia perahu. Mereka menghabiskan lima hari dalam sepekan atau seminggu penuh menyusuri Bengawan Solo untuk mencari ikan.

Otomatis, perahu pun menjadi rumah pengganti, tempat mereka makan dan tidur. Untuk itu, perahu dilengkapi atap dari anyaman bambu yang dilapisi plastik untuk mencegah terik dan hujan.

Budaya hidup di atas air para manusia perahu Bengawan Solo itu mirip Suku Sawang di Belitung dan Suku Bajo yang berdiaspora di berbagai wilayah pantai Indonesia. Kedua etnis itu sangat menggantungkan hidup dari laut.

Dasim dan Marzuki contohnya. Sejak Selasa (27/11) dini hari lalu keduanya berangkat memburu ikan di sepanjang aliran Bengawan Solo. Rabu (28/11) tengah hari mereka bersandar lagi ke tempat semula. Kali ini tak terlalu lama karena akhir tahun seperti ini merupakan musim paceklik ikan.

Mereka mengaku memburu ikan hingga daerah Babat, Lamongan. "Kalau November begini, ikannya memang sepi. Semalam mencari saya hanya dapat uang Rp 40 ribu," kata Dasim siang itu. Kendati begitu, wajah keduanya tak terlihat kecewa.

Berdasar siklus yang dia pahami, menjelang akhir tahun seperti ini, Bengawan Solo memang paceklik ikan. Apalagi, air bengawan juga naik karena hujan deras beberapa hari terakhir. "Saat ini ikan-ikan lagi bertelur. Nanti panennya pada Agustus dan September," terang Dasim.
Pada bulan-bulan itu, keduanya bisa meraup banyak rupiah. Dalam semalam Dasim bisa menjual ikan ke Pasar Kanor atau Pasar Bojonegoro hingga mendapatkan uang Rp 250 ribu.

Karena itu, pada bulan-bulan tersebut, keduanya benar-benar memaksimalkan waktu. "Lima hari atau seminggu nggak pulang ke rumah sudah biasa," katanya.

Bahkan, perahu mereka bisa menyusuri Bengawan Solo hingga daerah Cepu, Jawa Tengah. Sebuah radio kecil menjadi sarana hiburan untuk menikmati siaran wayang kulit.

Rata-rata para manusia perahu di Kanor memang berpasangan seperti Dasim dengan Marzuki. Berdua saat menyusuri bengawan, demikian pula ketika memasarkan hasil tangkapan.
 
Dasim menawarkan ikan ke pengepul, sementara Marzuki menunggui perahunya. Bila Dasim kecapekan, Marzuki yang harus menjajakan tangkapan ikan ke pasar. Tangkapan ikan yang biasanya dijual adalah jambal, jendil, gabus, dan wader.

Dalam mencari ikan mereka juga patuh dengan aturan main atau kearifan lokal yang berlaku di antara para nelayan Bengawan Solo: dilarang menggunakan setrum. Menurut mereka, memburu ikan dengan setrum akan mematikan seluruh ikan yang masih kecil.
"Kalau aturan itu dilanggar, ya sudah nggak ada ikan lagi. Berarti besok ya nggak makan," ungkapnya.

Dasim mengungkapkan, profesi nelayan bengawan tersebut diturunkan oleh keluarganya. Ayah lima anak itu menjelaskan, di Kanor, manusia perahu ada sejak zaman kakek buyutnya. "Turun-temurun sudah jadi nelayan seperti ini. Mbah buyut saya juga nelayan di Kanor," katanya.

Bahkan, saudara-saudara mereka juga akhirnya menjadi nelayan di kawasan Kali Jagir dan Kali Sepanjang. "Kalau ada nelayan mencari ikan di sungai di daerah Surabaya, sudah pasti mereka dari Kanor," katanya.

Namun, menurut Dasim, lambat laun kondisi itu berubah. Kultur menggantungkan hidup ke Bengawan Solo belakangan tak diminati lagi oleh anak-anak muda di Kanor. Contohnya di antara lima anak Dasim yang semuanya laki-laki, tak satu pun mau menjadi nelayan seperti dirinya.

Mereka memilih bekerja di pabrik-pabrik di Surabaya. "Saya tentu tak bisa mengekang. Saya bebaskan saja keinginan mereka," ucapnya.
Demikian halnya Marzuki. Dia tak mungkin mewariskan keahliannya menyusuri sungai karena tak punya keturunan.

Para manusia perahu di Kanor umumnya juga sudah berusia sepuh seperti Dasim dan Marzuki. Pendataan terakhir, nelayan di Kanor kini tercatat hanya 87 perahu. Padahal, lima tahun lalu jumlah mereka masih ratusan.

Namun, ancaman kepunahan manusia perahu itu ditepis Kepala Dusun Kendal, Desa Kabalan, Kecamatan Kanor, Supardan. Dia yakin profesi nelayan bengawan di Kanor tak akan menghilang.

Itu karena sejak kecil anak-anak di desanya akrab dengan sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut. Jadi, begitu sulit mencari pekerjaan, pasti anak-anak di desanya kembali ke bengawan, menghabiskan hari-hari mereka mencari ikan.

"Jadi, karyawan pabrik sekarang juga bukan hal mudah. Bolak-balik tes juga akhirnya ditolak," kata pria 67 tahun itu.
Selain di Kanor, di wilayah kecamatan lain di Bojonegoro juga ada manusia perahu. Namun, jumlah mereka tak banyak. Supardan menambahkan, saat musim paceklik ikan seperti saat ini, biasanya para manusia perahu di Kanor beralih profesi menjadi petani. Untuk mengairi sawah, mereka juga memanfaatkan aliran Bengawan Solo. (*/c2/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merasakan Serunya Disopiri Juara Dunia F1 Dua Kali Mika Hakkinen (2-Habis)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler