Harus Ada Kajian Komprehensif untuk Kembalikan Fungsi Sungai

Sabtu, 23 Maret 2019 – 15:06 WIB
Kongres Sungai Indonesia bertema Sungai Sebagai Pusat Kebudayaan Berbasis Kearifan Lokal Dalam Koridor NKRI. Foto: KSI

jpnn.com, JAKARTA - Fasilitator Sidang Komisi Kongres Sungai Indonesia keempat (KSI 4.0) Didik Wahyudiono menilai sungai kini tidak memiliki relasi yang kuat dengan warga seperti zaman dahulu ketika nenek moyang membangun peradaban.

Menurut dia, pengelolaan sungai menjadi persoalan teknis yang kerap sulit dipahami oleh para penggerak revitalisasi.

BACA JUGA: 3 Hal yang Harus Diperhatikan soal Pengelolaan Sungai

“Ada kalanya malah muncul kesan bahwa upaya mengembalikan sungai pada fungsinya menjadi urusan proyek,” kata Didik dalam KSI 4.0 bertema Sungai Sebagai Pusat Kebudayaan Berbasis Kearifan Lokal Dalam Koridor NKRI, Jumat (22/3).

Menurut dia, harus ada kajian antropologis yang komprehensif untuk mengembalikan fungsi sungai seperti dahulu.

Hal itu mesti diawali dengan meneliti siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas putusnya relasi antara sungai dengan warga sebagaimana kini terjadi di Singapura.

Didik menjelaskan, kondisi di Indonesia memang tidak seperti di Singapura yang mana urusan sungai kini menjadi tanggung jawab negara dan peran komunitas kecil bahkan tidak ada.

Namun demikian, sikap warga bantaran yang kini memilih untuk hidup membelakangi sungai adalah gejala kuat rusaknya relasi itu.

Hal ironis yang kini terjadi adalah upaya pelestarian budaya disalahmengerti sehingga menimbulkan kerusakan sungai. Sungai Berantas dan Sungai Loji di Pekalongan adalah contohnya.

Industri batik di banyak kota Jawa Tengah banyak yang membuang limbah ke sungai dan pemerintah daerah setempat tidak kuasa. 

“Saat ini persepsi keliru yang timbul di masyarakat ialah bila sungai kotor, berarti produksi berjalan dan ekonomi meningkat serta usaha melestarikan budaya berjalan baik,” ujar Didik.

Dalam kesempatan itu, Bupati Serdang Bedagai Sukirman mengingatkan rusaknya ekologi secara keseluruhan juga karena maraknya orang berburu burung. 

Kerusakan hutan di daerah hulu sungai di wilayah Sumatera Utara terjadi karena tidak adanya pohon-pohon besar dengan akar kuat seperti beringin.

Hal itu membuat air hujan tak terserap tanah dan cepat turun hingga kerap terjadi longsor.

Padahal burung adalah penyebar bibit tanaman hingga memungkin pohon-pohon besar tumbuh di bukit dan lereng gunung.

“Seharusnya dalam kesempatan mendatang peserta Kongres Sungai Indonesia perlu menampilkan burung-burung khas yang biasa ditemukan di sungai-sungai wilayahnya,” ujar Sukirman. (jos/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler