Pengamat ekonomi Dradjad H Wibowo mengatakan, aturan main kontrak tahun jamak awalmya adalah Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Dradjad menjelaskan, pasal 30 ayat (8) menyebut bahwa kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN.
Dradjad menambahkan, Sri Mulyani selaku Menkeu pada 2 Maret 2010 mengeluarkan PMK Nomor 56/PMK.02/2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak (Multiyears Contract) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. "Jadi ada kata-kata "atas persetujuan Menkeu" itu yang harus dicermati," kata Dradjad dalam rilis ke JPNN, Rabu (31/10).
Lebih lanjut Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan, PMK tersebut keluar setelah terbitnya sertifikat lahan Hambalang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada Januari 2010. "Situasi saat itu, SMI banyak dikejar terkait kasus Century dan desakan agar dia mundur semakin kencang. Akhirnya SMI mundur bulan Mei, sementara PMK itu keluar Maret," sebut Dradjad.
Dari sisi substansi, sambungnya, sebelum PMK tersebut keluar maka sebuah proyek tahun tunggal yang tengah berjalan tidak bisa diubah menjadi tahun jamak. "Nah pertanyaan yang seharusnya dijawab BPK adalah, mengapa PMK tersebut diterbitkan? Apakah untuk menjadi payung hukum agar pengubahan kontrak tahun tunggal menjadi tahun jamak dimungkinkan, ataukah untuk menertibkan proyek tahun jamak? Yang bisa menjawab ini tentu Menkeu yang menerbitkan PMK dan para pejabat eselonnya," ulas Dradjad.
Karenanya anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 2004-2009 itu menganggap Sri Mulyani yang kini menjadi managing director Bank Dunia perlu diperiksa BPK. "Karena kalau melihat rentang waktunya, saya menduga SMI seperti terpaksa terpaksa menerbitkan PMK itu," pungkasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Tipu Rakyat dengan Pemangkasan Pasal RUU Kamnas
Redaktur : Tim Redaksi