Hasil Konvensi UN Disebut Sarat Transaksi Politik

Minggu, 29 September 2013 – 15:34 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Koalisi Reformasi Pendidikan (KRP) menilai hasil Kovensi Ujian Nasional (KUN) yang baru saja digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tetap melegalkan pelaksanaan Ujian Nasional (UN), sarat dengan transaksi politik. Alasannya, penyelenggaran pengakuan legalitas UN tanpa dilandasi kepentingan akademik.

"Hasil keputusan KUN sarat dengan transaksi politik. Tidak ada perubahan signifikan bahkan UN SD tetap ada, padahal PP 32/2013 sudah disambut sebagai penghapusan UN SD," kata Juru Bicara KRP, Retno Listyarti, Minggu (29/9).

BACA JUGA: Pelatihan Guru Kurikulum Mandiri Maksimal Oktober

Sebagai peserta KUN yang memilih walk out saat KUN berlangsung, Retno memandang harapan terjadinya dialog yang konstruktif untuk mencari jalan keluar atas kontroversi UN kandas. Ruang dialog tersebut telah tertutup sejak awal dengan dibatasinya tema KUN hanya pada masalah teknis semata-mata.

Semestinya, kata dia, KUN juga memberi ruang untuk mengevaluasi hal-hal yang lebih fundamental, termasuk eksistensi UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya. Namun tema-tema itu tidak disinggung oleh Kemdikbud.

BACA JUGA: Lima Alasan Anak Muda Tolak UN

"Setelah dilaksanakan selama satu dasawarsa, manfaat UN terhadap perbaikan mutu pendidikan di Tanah Air tidak terbukti. Sebaliknya, dampak-dampak negatif UN terhadap proses pembelajaran, pengembangan kompetensi siswa, kesiapan siswa memasuki perguruan tinggi semakin nyata," jelasnya.

Selain itu, penggunaan UN sebagai kriteria seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, khususnya dari SD ke SMP dan SMP ke SMA bertentangan dengan amanat Pasal 5 Ayat 1 UU Sisdiknas karena semakin menjauhkan upaya untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi setiap warga negara.

BACA JUGA: Kemenag Dorong Perda Diniyah Segera Disetujui

"Ini sama artinya anak-anak  yang memiliki nilai UN lebih tinggi yang berpeluang lebih besar untuk bersekolah di sekolah-sekolah yang dianggap bermutu," ujar Sekretaris Jenderal Federasi Guru Indonesia (FSGI) itu.

Di sisi lain, KRP menilai Kemdikbud tak menghargai proses pembelajaran di sekolah dan penilaian dari guru karena besarnya porsi nilai UN sebagai penentu kelulusan. Padahal nilai rapor menggambarkan penilaian terhadap siswa dalam kurun waktu yang lebih panjang, dengan beragam mode asesmen dan beberapa orang guru untuk mata pelajaran yang sama.

"Nilai rapor menurut berbagai penelitian memiliki validitas prediktif yang lebih baik dibandingkan nilai dari tes-tes terstandar. Masalahnya saat ini ada ketidakpercayaan terhadap penilaian yang dilakukan oleh guru. Ini juga bentuk kegagalan pemerintah membekali guru dengan kemampuan menilai yag berkualitas," tegasnya.

Bahkan tambahnya, hasil Konvensi UN ini membuat peran guru semakin dikerdilkan. Hal itu dilihat dari tidak adanya peran guru sebagai pengambil keputusan di lapangan. (Fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 3,7 Juta Guru Ancam Mogok Mengajar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler