jpnn.com, JAKARTA - Bonus demografi yang diprediksi akan didapatkan Indonesia pada tahun 2030-2040 terancam menjadi bencana tanpa adanya sebuah perubahan.
Pada tahun tersebut, Indonesia diprediksi akan memiliki penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proposi lebih dari 60%.
BACA JUGA: Bila jadi Presiden, Anies Bakal Terapkan Konsep Pasar AMIN
Kendati begitu, ihwal pemanfaatan bonus demografi memiliki tantangan yang cukup berat yang salah satunya merupakan pentingnya program-program pembangunan kualitas manusia yang harus disusun secara cermat guna memaksimalkan potensi usia produktif tersebut.
Ironisnya, hal tersebut bertolak belakang dengan yang terjadi pada saat ini. Hal itu ditunjukkan oleh salah satu indikator global dalam mengukur kualitas manusia dalam sebuah kajian yang dibuat oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui surveinya yang disebut Programme for International Student Assessment (PISA).
BACA JUGA: Terkesan Menyindir Gibran, Anies: Asam Folat Didapat dari Tanaman, Bukan di Bengkel
PISA merupakan suatu studi guna mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia.
Untuk detailnya, setiap 3 tahun, murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak, menempuh tes dalam mata pelajaran utama yaitu membaca, matematika dan sains.
BACA JUGA: Berdiskusi dengan Mahasiswa di Bengkulu, Anies Ungkap Penyebab Indonesia Masih Tertinggal
Adapun tes tersebut bersifat diagnostik dan digunakan untuk memberikan informasi yang berguna untuk perbaikan sistem pendidikan yang mana Indonesia telah berpartisipasi dalam studi PISA sejak tahun 2000 silam.
Merujuk dari hasil PISA 2022 yang baru diumumkan oleh OECD pada Selasa (5/12), Indonesia menjadi salah negara dengan hasil terburuk di dunia dengan menunjukkan baik dari segi kemampuan literasi, matematika hingga sains.
Tak ayal, hasil PISA 2022 itu mempertegas dan menyorot kegagalan pemerintah dalam mencapai target yang dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah.
Sejatinya, target RPJMN untuk skor membaca di 396 sedangkan skor PISA 2022 di 359 turun 12 poin dari tahun 2018. Untuk matematika, pemerintah dalam RPJMN menargetkan skor 388 sedangkan skor PISA 2022 di 366 turun 13 poin dari tahun 2018 sementara untuk sains, target RPJMN di angka 402 sedangkan hasil skor PISA 2022 di angka 383 turun 12 poin dari tahun 2018.
Hasil itu sontak membuat Juru Bicara (Jubir) Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN), Indra Charismiadji yang juga merupakan seorang tokoh pemerhati pendidikan menyuarakan keprihatinannya atas hasil buruk yang diterima Indonesia di PISA 2022.
Indra menyatakan terdapat banyak problematika fundamental dalam tata kelola pendidikan Indonesia yang tak kunjung dibenahi sehingga menciptakan polemik sehingga menuntut urgensi terkait pentingnya sebuah perubahan.
"Pemerintah sibuk melakukan hal yang sama dan berulang-ulang tetapi mengharapkan hasil yang berbeda seperti gonta ganti kurikulum, gonta ganti nama program tetapi isinya sama, dan lain sebagainya," kata Indra, Rabu (6/12).
Menurutnya, anggaran pendidikan yang setahunnya mencapai lebih dari 600 triliun itu menunjukkan hasil yang berbanding terbalik dengan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Ini merupakan bentuk ketidakwarasan, anggaran triliunan tapi isinya gonta ganti nama saja, tapi isinya hanya mengambil sebagian kecil sekolah yang sudah baik mutunya kemudian ditambah anggaran dan pelatihan guru-gurunya. Belum tiap ganti menteri pasti ganti kurikulum. Ini tidak mengubah apa-apa. Tidak heran kalau hasil PISA kita semakin jeblok," tegas Indra.
Lebih lanjut, dirinya turut berpendapat bahwa jika pemerintah pada masa mendatang hanya melanjutkan program-program pendidikan yang sudah berjalan, maka bencana demografi yang akan mencuat alih-alih mendapat bonus demografi.
"Hal itu disebabkan karena penduduk usia produktifnya besar tetapi produktivitasnya rendah yang disebabkan kemampuan dasar untuk membaca, matematika, dan sainsnya tidaklah mumpuni. Indonesia membutuhkan perubahan besar-besaran dalam bidang pendidikan," tukas Indra.
"Albert Einsten pernah mengatakan bahwa ukuran kecerdasan adalah kemampuan membuat perubahan. Jadi sangat wajar kalau bangsa ini tidak kunjung menjadi cerdas kalau tidak mampu membuat perubahan. Mari seluruh rakyat Indonesia, kita dukung mereka yang punya kapabilitas dan arah untuk membuat perubahan. Pembangunan manusia harus dipandang sebagai investasi bukan biaya. Pendidikan itu mahal, tapi kebodohan jauh lebih mahal," pungkasnya. (jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : JPNN.com