jpnn.com, JAKARTA - Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Lenny N Rosalin mengungkapkan, pencegahan perkawinan anak di Indonesia tidak bisa ditunda lagi.
Perkawinan anak merupakan masalah jangka panjang yang harus dihadapi bersama-sama.
BACA JUGA: Al Ghazali dan Alyssa Daguise Segera Menikah?
Sebab, melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi terutama perkawinan anak merupakan tanggung jawab kita bersama.
"Dengan menjadikan anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) diharapkan mereka bisa berperan dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Selain anak, yang juga tidak kalah penting adalah peran keluarga dan masyarakat,” ujar Deputi Lenny di Jakarta, Jumat (13/6).
BACA JUGA: Konon Naysilla Mirdad Mau Jadi Mualaf Sebelum Nikah
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, di mana 1 dari 9 atau sekitar 11,21 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun.
Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.
BACA JUGA: Perkembangan Kasus Mita yang Begituan dengan Pria asal Kediri, Lantas Menikah
Sementara itu, sampai 2018 sebanyak 20 provinsi di Indonesia memiliki prevalensi perkawinan usia anak di atas angka nasional, Provinsi Kalimantan Tengah menjadi peringkat kedua tertinggi dengan proporsi 19,13 persen.
Lenny menambahkan berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA) Juni 2020 jumlah perkara yang diterima dan diputus menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. “Banyaknya permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama, dikhawatirkan dapat membuat lonjakan angka perkawinan usia anak di Indonesia," ujarnya.
Pada 2019, jumlah perkara yang diterima sebanyak 24.827 kasus. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari 2018 sebanyak 13.815 perkara.
Sedangkan untuk perkara yang diputus pada 2019 sebanyak 21.963 kasus dibandingkan 12.531 perkara pada 2018.
"Untuk jumlah perkara yang diputus maksudnya di sini adalah diputuskan untuk perkawinannya dilanjutkan atau ditolak. Namun, dari 21.963 perkara ini kami masih menunggu rincian data dari Badilag MA berapa saja perkara yang dilanjutkan dan ditolak.” terang Lenny.
Sementara itu, Perwakilan Jaringan AKSI, Aditya Septiansyah menuturkan dinamika remaja yang ada pada masa transisi atau pubertas juga menjadi dinamika yang harus dihadapi.
Perubahan usia menuju remaja akan memengaruhi cara berpikir mereka tentang suatu masalah.
Oleh karena itu, pada masa ini remaja harus diberikan pendampingan dan advokasi terkait pencegahan perkawinan anak.
Wakil Ketua Forum Anak Nasional, Zafira Puan Adelin bercerita mengenai pengalaman dan pendapatnya terkait perkawinan anak dari sisi anak.
Dari survei kecil yang mereka lakukan secara online dengan hasil sebanyak 243 responden anak dari 251 total responden tidak setuju dan menentang perkawinan anak.
Sedangkan sisanya sebanyak 8 responden anak mengatakan setuju dengan alasan perkawinan anak untuk menghindari zina.
"Di sinilah kami merasa ada salah persepsi terkait menghindari zina dan perkawinan anak. Ini menjadi tugas kami sebagai anak untuk meluruskan semua dengan menggunakan pendekatan berbasis anak dan memposisikan diri kami sebagai teman," tuturnya.
"Kami yakin dengan kerja sama seluruh pihak pasti kita bisa untuk bersama mencegah perkawinan anak di Indonesia,” sambungnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad