jpnn.com, JAKARTA - Hasil survei Edelman Trust Barometer Special Report: Brands and Politics Edisi Indonesia 2024 menyebutkan situasi politik dapat memengaruhi perilaku konsumen.
Mereka menilai merek sehari-hari yang dianggap memiliki pandangan politik atau yang tidak mengambil sikap jelas berisiko dihindari atau diboikot.
BACA JUGA: Edelman Trust Barometer 2021 Ungkap Tingkat Ekspektasi bagi Bisnis
"Pada 2024, kita dihadapkan pada dinamika politik seperti pemilu dan konflik geopolitik global yang memengaruhi kepercayaan konsumen terhadap brand," kata Managing Director Edelman di Indonesia Nia Pratiwi, Selasa (29/10).
Hal itu didasarkan survei terhadap 1.000 responden di 34 provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari studi yang lebih besar yang melibatkan lebih dari 15 ribu responden di 15 negara.
BACA JUGA: Memaknai Harkitnas, Nasabah PNM Mekaar Solok Siap Bangkitkan Produk Lokal
Survei itu, menyoroti tren perilaku konsumen untuk mendukung, membeli, atau bahkan menghindari suatu merek berdasarkan pandangan politik dan nilai sosial tertentu yang dianut oleh merek serta sikap merek terhadap isu sosial.
Temuan menunjukkan, mayoritas konsumen di Indonesia mengekspresikan pandangan politik mereka melalui pilihan brand atau produk.
BACA JUGA: Dorong Produk Lokal Go Internasional, Bea Cukai Lakukan Asistensi pada UMKM
Hal ini menunjukkan adanya polarisasi dalam perilaku konsumen yang perlu diperhatikan oleh setiap brand.
"Ada peningkatan pada nasionalisme merek (brand nationalism), sebuah kondisi saat konsumen lebih memilih merek dan produk berdasarkan negara asal dari brand tersebut," tegasnya.
Laporan yang sama menunjukkan bahwa 73% responden Indonesia kini lebih sering membeli merek lokal dibandingkan setahun yang lalu.
Juga sebanyak 58% memboikot merek yang mendukung salah satu pihak dalam konflik Israel-Hamas.
Mengingat pilihan merek turut mendefinisikan identitas sosial seseorang, laporan tersebut juga mencatat bahwa generasi muda (usia 18-34) merasa terhubung dengan orang lain yang menggunakan merek yang sama (69%) dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih senior (usia 35-54) sebesar 58%.
"Selain itu, hampir setengah (49 persen) dari responden muda ini mengaku bahwa mereka menilai orang lain berdasarkan pilihan mereknya," ujarnya.
Hasil survei yang dilakukan pada April 2024 juga menemukan, bahwa 81% responden Indonesia menyatakan khawatir terhadap hasil pemilihan umum (pemilu).
Dengan dinamika perilaku konsumen ini, jelas bahwa publik di Indonesia menuntut brand untuk mengambil sikap pada isu kontroversial atau politis saat berada di bawah tekanan (64%).
Kemudian, karena orang percaya pada kekuatan brand untuk berkontribusi lebih banyak bagi agenda publik, bukan lebih sedikit, responden mengharapkan brand untuk melakukan lebih banyak dalam isu seperti perubahan iklim (33%), upah yang adil (28%), dan pelatihan ulang (retraining) tenaga kerja (26%).
Ketika sebuah brand tidak mengkomunikasikan tindakannya dalam menangani isu-isu sosial, 55% responden Indonesia menganggap merek tersebut tidak melakukan apa-apa atau menyembunyikan sesuatu.
“Konsumen kini secara dekat memperhatikan setiap keputusan yang dibuat oleh brand, yang kini memberikan implikasi politik yang lebih besar daripada sebelumnya," ucapnya.
Terungkap juga bahwa tindakan paling sederhana oleh sebuah merek sekalipun, seperti pemilihan influencer dan perekrutan karyawan yang beragam, juga dapat dianggap sebagai pernyataan politik.
“Brand yang memilih untuk tetap diam pada isu sosial dan politik yang mendesak, atau yang gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen yang menuntut transparansi dan advokasi oleh brand, dianggap sebagai bagian dari masalah dan berisiko kehilangan kepercayaan konsumen,” tegasnya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Satu Dekade Perjalanan UMKM Indonesia: Pemberdayaan Produk Lokal Menembus Pasar Global
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Mesyia Muhammad