jpnn.com, SURABAYA - Anda harus berhati-hati. Mengonsumsi antibiotik secara sembarangan bisa berakibat fatal.
Sebab, hal tersebut akan membuat bakteri menjadi kebal. Akibatnya, penyakit menjadi sulit diobati.
BACA JUGA: Frustasi Sakit Tak Sembuh, Pria Ini Nekat Minum Racun
Di sisi lain, mendapatkan antibiotik di apotek semudah membeli obat-obatan tanpa resep dokter.
Seperti yang dialami seorang ibu bernama Dina ini. Tahun lalu, Dina menjalani operasi Caesar untuk kelahiran anak keduanya di sebuah rumah sakit di Probolinggo.
BACA JUGA: Kena OTT, Lurah Baamang Tengah Dikenakan Wajib Lapor
Namun, luka sayatan di perutnya tidak kunjung kering. Perempuan 32 tahun itu pun resah.
Bahkan, dari hari ke hari luka tersebut semakin lebar. Perban tidak pernah lepas dari perutnya.
BACA JUGA: Semoga Raja Salman Puas dan Kunjungi Bali Lagi...
Bayi yang dilahirkan semakin besar, tapi luka operasi tidak segera sembuh.
Dina pun berobat ke dokter. Sayang, para dokter di rumah sakit setempat angkat tangan.
"Karena tidak bisa mengatasi, akhirnya dirujuk ke RSUD dr Soetomo," kata Dina saat dihubungi Jawa Pos kemarin (11/3).
Berdasar diagnosis dari dokter di RSUD dr Soetomo, luka tersebut tidak kunjung kering lantaran infeksi.
Bakteri yang menggerogoti luka di perut bagian bawah itu tidak lagi mempan diobati. Bahkan, dengan antibiotik.
"Saya mendapatkan pengobatan. Katanya tanpa antibiotik," tutur perempuan yang tidak mau disebut nama lengkapnya itu.
Di rumah sakit milik pemprov tersebut, dia menginap beberapa minggu. Dari sana pula, dia belajar banyak hal.
Termasuk mengonsumsi obat. Salah satunya, saat sakit, antibiotik tidak boleh dikonsumsi sembarangan.
"Saya lupa pernah minum antibiotik atau tidak. Tidak tahu. Tapi, saya sering tidak menghabiskan obat dan kerap membeli obat di apotek," kata Dina.
Maklum, selama ini mendapatkan antibiotik memang begitu mudah. Datang saja ke apotek, lalu sebutkan nama obatnya.
Pegawai apotek tidak perlu menanyakan lebih detail resep dokter atau untuk sakit apa. Asal ada uang, antibiotik bisa diberikan.
Awal pekan lalu, Jawa Pos mendatangi apotek di kawasan Surabaya Utara. Di sebuah apotek yang lumayan besar, Jawa Pos membeli dua antibiotik.
Yakni, amoksisilin dan obat sakit tenggorokan. Menunggu tidak sampai tiga menit, obat sudah berada di tangan.
"Banyak ya yang beli obat ini?" tanya Jawa Pos. Petugas apotek pun mengiyakan bahwa banyak pembeli yang mencari obat tersebut.
"Orang-orang sering pakai itu," imbuhnya. Total harga seluruh obat hanya Rp 17.000.
Pada hari yang berbeda, Jawa Pos membeli obat di kawasan Jalan Ir Soekarno.
Yang dibeli sama, yakni amoksisilin. Di tempat itu, koran ini sempat ditanya soal resep dari dokter.
Setelah beralasan ini-itu, obat yang sama pun bisa didapatkan.
Demikian juga halnya dengan apotek di kawasan Mulyorejo. Di rak-rak terdapat susunan obat.
Tempat penyerahan resep sama dengan penerimaan obat. Hanya ada satu penjaga di apotek itu.
Lagi-lagi, tanpa resep, antibiotik bisa didapatkan dengan mudah.
Kemarin (11/3) Jawa Pos kembali mencoba untuk membeli rifampisin, salah satu jenis antibiotik, di kawasan Surabaya Selatan.
Rifampisin merupakan obat untuk infeksi paru-paru seperti tuberkulosis. Obat tersebut tergolong generik.
"Rifampisin kami habis. Adanya rifamtibi, tapi ini bukan generik. Agak mahal," tutur seorang pegawai apotek.
Setelah menyetujuinya, Jawa Pos ditanya soal ukuran obat. Ada tiga jenis ukuran, yakni 300 miligram (mg), 450 mg, dan 600 mg. Jawa Pos menanyakan perbedaan ketiganya.
"Ini berkaitan dengan dosis. Kalau salah dosis, nanti bisa diulangi dari awal," tutur pegawai tadi.
Mudahnya mendapatkan antibiotik tersebut belakangan memang menjadi perhatian dunia.
Jika digunakan tidak tepat, obat itu akan mengakibatkan bakteri menjadi kebal.
Orang yang mengonsumsinya akan menjadi resistan terhadap antibiotik lain.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 27 Februari lalu menyiarkan pada portal beritanya, ada beberapa bakteri yang membutuhkan antibiotik baru.
Salah satunya adalah salmonellae. Bakteri jenis itu menjadi salah satu penyebab tifus.
Dikutip dari www.who.int, WHO's Assistant Director-General for Health Systems and Innovation Dr Marie Paule Kieny menuturkan bahwa resistan terhadap antibiotik semakin banyak.
Karena itu, harus segera dilakukan penelitian mengenai pembuatan antibiotik.
Bakteri yang resistan terhadap beberapa obat akan menimbulkan bencana.
Ancaman tersebut bisa terjadi di rumah sakit, panti jompo, atau pasien yang membutuhkan perawatan di intensive care unit (ICU).
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan dr Hari Paraton SpOG menjelaskan bahwa antibiotik tidak hanya berasal dari obat.
"Banyak peternakan yang menggunakan antibiotik untuk hewannya," tuturnya.
Lebih lanjut, Hari mengatakan, penggunaan antibiotik pada hewan juga akan memengaruhi bakteri di sekitarnya.
Misalnya, ketika daging hewan dikonsumsi manusia. Bisa juga melalui feses yang akhirnya menyebar ke lingkungan.
"Jika tidak diantisipasi, menurut laporan The Review on Antimicrobial Resistance, mikroba yang resistan diperkirakan akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahun. Hal itu terjadi mulai 2050," jelas Hari.
Penggunaan antibiotik akan membuat bakteri baik menjadi jahat.
Memang, tidak seketika itu bakteri jahat menyerang tubuh.
Yang perlu diwaspadai adalah kondisi tubuh yang menurun karena bakteri itu bisa muncul. (lyn/bri/c7/git/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penambang Pasir Tewas Tertimpa Batu
Redaktur & Reporter : Natalia