Hati-hati, Obesitas Pada Anak Bisa Mematikan

Sabtu, 13 Februari 2016 – 10:44 WIB
Ilustrasi. Foto : The Guardian

Jangan bangga jika ada yang berkomentar , ''Duh anaknya lucu, gendut banget''. Sebab, saat berat badan anak-anak tidak lagi berada di batas normal, orang tua lebih baik mencari bantuan kesehatan. Obesitas sudah tergolong silent killer. Gangguan kesehatan tersebut tidak muncul sekarang, tetapi saat mereka remaja atau dewasa. 

''Obesitas itu silent killer, sekarang banyak anak muda yang stroke karena masa kecilnya gemuk,'' ujar dr Dian Pratamastuti SpA, dokter spesialis anak di Siloam Hospitals Surabaya. Anak gemuk sudah tidak boleh dianggap lucu lagi. Sebab, obesitas merupakan sumber penyakit. Terutama diabetes, jantung koroner, stroke, dan osteoartrisis atau radang tulang. 

Berdasar data Perhimpunan Pakar Gizi (Pergizi) Pangan Jatim, angka anak obesitas makin tinggi. Persentasenya mencapai 10-15 persen dari seluruh anak. Saat ini semakin banyak anak yang datang ke rumah sakit dengan keluhan obesitas. Dalam sebulan, Dian pun minimal menangani tiga anak obesitas. Sebagian besar umurnya lebih dari 5 tahun. ''Itu data pasien baru,'' ucapnya.

Ada ukuran untuk seorang anak dinyatakan gemuk. Yakni, bisa mengacu WHO atau National Center for Health Statistics (NHCS). Contohnya, anak yang berumur setahun biasanya memiliki berat tiga kali berat badan lahir. Lalu, anak yang berusia dua tahun mempunyai empat kali berat badan lahir. Lebih dari dua tahun, ada penambahan 1-2 kilogram (kg). ''Ini rumus mudahnya. Kalau melebihi angka itu, bisa dicurigai obesitas,'' ungkap alumnus Unair tersebut.

Karena itu, dia mendorong orang tua untuk menghindari pencetus obesitas. Yang paling besar disebabkan faktor lingkungan. Anak mengikuti kebiasaan pola makan orang tua dengan mengonsumsi makanan manis dan cepat saji. Termasuk tinggi karbohidrat. ''Anak habis makan nasi, masih diajak mengonsumsi mie, kentang, roti, dan ubi,'' jelasnya. 

Apalagi, anak kurang minum air putih. Mereka banyak minum manis. Padahal, air putih berperan penting untuk metabolisme tubuh. Kandidat doktor dengan penelitian neurologi anak di FK Unair itu menuturkan, anak sekarang juga jarang bergerak. Mereka sering bermain gadget sehingga lebih banyak duduk. Akibatnya, tidak ada pembakaran kalori. 

Sebelum kian parah, anak obesitas sebaiknya segera mendapat penanganan. Caranya pun tidak menggunakan obat-obatan, tetapi terapi. ''Anak dilarang keras minum obat slimming karena akan memengaruhi tumbuh kem­bangnya,'' ucapnya. 

Menurut dia, anak diminta diet dengan mengubah pola makan. Contohnya, dengan mengurangi gula, membiasakan makan buah dan sayur, minum sekitar 1,5 liter per hari, dan menambah aktivitas fisik. ''Anak harus dipaksa bergerak,'' katanya.

Targetnya, dalam sebulan, harus ada penurunan sampai 2 kg. Dokter biasanya mengedukasi orang tua untuk memberikan kalori sebesar hitungan tim medis. ''Yang paling penting, orang tua dibetulkan dulu. Selama ini anak bisa membaik setelah orang tua diberi pengertian,'' ujarnya. 

Selain itu, dia meminta lingkungan mendukung dengan tidak mem-bully anak obesitas. Sebagai langkah antisipasi, orang tua sebaiknya rajin memeriksakan berat anak di posyandu atau puskesmas. ''Di kartu menuju sehat (KMS) sudah ada ukuran yang bisa memantau berat badan anak,'' terangnya. 

Sementara itu, Ketua Pergizi Pangan Jatim Annis Catur Adi menyebutkan bahwa angka kegemukan juga meningkat tajam di Surabaya. Terutama di kantong-kantong permukiman padat seperti Sawahan, Simokerto, dan Tegalsari. Di kawasan tersebut, rumah yang kecil membuat anak jarang beraktivitas. Mereka cukup nonton TV dan bermain gadget. (nir/c20/any/pda)

BACA JUGA: Sudah Menikah? Ini Cara Merayakan Valentine Paling Menyenangkan

BACA ARTIKEL LAINNYA... Guys, Hati-hati Mr.P Bisa Kena Penyakit ini Lho


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler