Ratemat Aboe memang hanya penarik becak. Namun, jiwa sosial dan kepeduliannya sungguh luar biasa. Dia menyisihkan waktu untuk mengajari anak-anak yang tidak mampu di daerahnya secara gratis.
DAVIQ UMAR AL FARUQ, Malang
RATEMAT Aboe suka mengajari anak-anak tentang pengetahuan sejak dia muda hingga di usianya yang kini mencapai 78 tahun. Dulu dia bercita-cita mencerdaskan anak-anak dan kini terkabul. "Anak pintar itu banyak, tapi pintar belum tentu cerdas," ungkapnya saat ditemui pada Minggu (17/7).
Pria yang akrab disapa Aboe itu masih mengajar anak gelandangan dan tidak mampu. Aboe mengungkapkan, hal itu berawal saat dia masih hidup di Surabaya dan bekerja sebagai petugas transmigran gelandangan Jawa Timur pada 1979-1989.
Dari situ timbul niat untuk mengajari anak-anak tunawisma. Sebab, rata-rata mereka tidak bisa membaca dan menulis. "Anak gelandangan saat itu mulai saya ajari dengan menulis dan membaca A I U E O," jelasnya.
Pria yang pernah bekerja menjadi tukang sapu tersebut mengaku tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Dia hanya mengenyam sekolah pamong, yaitu sekolah binaan pemerintah Belanda untuk menanggulangi desa-desa yang masyarakatnya masih buta huruf. "Saya memang bodoh, tapi saya suka membaca," terangnya.
Aboe yang kelahiran Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, mengungkapkan, dia pindah ke Malang pada 1993 setelah menyatakan pensiun dini. Karena tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, dia menjadi penarik becak. "Sampai pensiun pun saya tidak naik pangkat dan gaji saya dipotong," katanya.
Aboe biasa mangkal di depan kantor kwartir cabang (kwarcab) pramuka di kawasan Pasar Splendid. Dalam sehari, pendapatannya antara Rp 30 ribu-Rp 50 ribu. Gajinya berkurang banyak karena masyarakat lebih memilih menggunakan motor. "Dulu, biasanya ya bisa dapat Rp 100 ribu per hari," ungkapnya.
Berawal dari Kwarcab Pramuka Kota Malang, dia mengajari anak-anak gelandangan. Pada 2010 kwarcab mengumpulkan anak gelandangan di seluruh Kota Malang untuk dibina. "Dari situ saya memberikan masukan kepada kwarcab mengenai cara mendidik gelandangan yang benar," jelasnya.
Setelah dia mengarahkan pihak kwarcab, pada 2012 ada sekumpulan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang datang untuk membantu mengajari anak-anak gelandangan. Namun, itu hanya bertahan 4 minggu karena ketidakcocokan metode pembelajaran antara anak kampus dan Aboe.
Selang beberapa minggu, datang mahasiswa Universitas Islam Malang (Unisma) untuk mengajari anak-anak gelandangan di rumahnya. Namun, itu pun hanya bertahan satu minggu karena anak-anak menjadi jarang datang untuk belajar di sana.
Semuanya berubah setelah Komunitas DNE (Dulur Never End) datang. Komunitas yang awalnya fokus pada bakti sosial itu menjadi komunitas sosial pendidikan setelah bertemu dengan Aboe. "Berkat DNE, semakin banyak komunitas yang menyumbang tenaga maupun materi untuk pengajaran anak gelandangan ini," katanya.
DNE kini memiliki 40 anggota dan 20 volunteer (sukarelawan). Komunitas tersebut diketuai Gabriel Iryanto. Komunitas yang didirikan sejak 2006 itu bertujuan membuat perpustakaan dan taman baca sebagai penunjang pengajaran anak bimbingan Aboe.
Aboe mengakui, anak-anak bimbingannya sering mendapatkan nilai bagus di sekolah setelah mendapatkan bantuan dari DNE. Selain itu, DNE memberikan nama "Rumah Belajar Kakek Aboe" untuk tempat pengajaran anak gelandangan tersebut.
Saat ini Aboe mengajar 30 anak pengemis, gelandangan, nyepek (pengatur lalu lintas jalanan), dan warga tidak mampu di sekitar rumahnya, Jalan Tanjung Putra Yudha I atau biasa disebut Desa Sukun Sidomulyo.
Ada anak-anak yang sekolah, mulai TK hingga SD kelas VI. Ada pula yang tidak sekolah. "Saya mengajari anak-anak tersebut karena miris saat melihat mereka mengemis di perempatan lampu merah," katanya. (*/c2/lid/c5/ami)
BACA JUGA: Tegang...tapi Senang! Rp 5 Ribu 15 Menit
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merinding, Suara Burung Hantu Bikin Suasana Makin Mencekam
Redaktur : Tim Redaksi