Hebatnya si Karate Kid dari Bandung

Raih Dua Medali Emas di Luksemburg

Senin, 14 November 2016 – 09:02 WIB
Meisya berlatih bersama ayahnya. FOTO : Bayu Putra / Jawa Pos

Pernah nonton film The Karate Kid yang dibintangi Jackie Chan dan Jaden Smith? Tak usah jauh-jauh, di Bandung juga ada seorang anak yang memiliki kemampuan beladiri luar biasa. Dua medali medali emas dalam kejuaraan internasional di Luksemburg menjadi bukti kehebatannya. 


FINAL Coupe Internationale de Kayl 2016 di Luksemburg 15 Oktober lalu awalnya tampak berjalan tidak seimbang bagi Meisya. Dia harus menghadapi Lambot Djodie, karateka asal Belgia yang berbadan lebih besar. Selain lebih tinggi, bobot lawan berbeda jauh. Djodie lebih dari 32 kilogram, sedangkan Meisya 26 kg. 

Mereka bertarung dalam kategori Kumite Female U12 - 35 kg. Meisya terpaksa bertarung di kelas tersebut karena tidak ada kelas di bawah 35 kg. Meski begitu, badan kecil tidak berarti tak bisa mengalahkan lawan yang bongsor. Mengandalkan kelincahan, Meisya berhasil menumbangkan lawannya dalam beberapa jurus. Kontingen Indonesia pun bersorak. 

Kemenangan itu membuat Meisya berhak mendapatkan medali emas keduanya di kejuaraan dunia tersebut. Emas pertama dia raih untuk kategori Kata Female U11 Prestasi tersebut menjadikan dirinya sebagai atlet Indonesia pertama yang mampu meraih nomor satu di kejuaraan yang diikuti atlet-atlet cilik dari berbagai negara itu. 

"Awalnya grogi juga melihat lawan yang badannya besar," ujar Meisya saat ditemui di rumahnya di kompleks Asrama Yon Zipur 3, Bojongsoang, Kabupaten Bandung, belum lama ini. 

Meskipun demikian, Meisya punya dua modal andalan. Yakni kecepatan dan kelincahan gerakan serta mental baja hasil latihan lima tahun terakhir. "Rasanya seneng banget, bangga," lanjutnya. 

Kemenangan itu bukannya tak disertai pengorbanan. Di tengah pertandingan, Meisya sempat terkena tendangan di rahang yang membuat bibirnya terluka dan gigi gerahamnya goyang. "Waktu wasit bilang stop, Meisya langsung berhenti. Tapi, lawan ternyata masih menendang, jadinya kena," jelas Serma M. Ali Hanafiah, sang ayah yang juga pelatih Meisya. 

Meisya masih belia. Usianya baru genap 10 tahun per 12 Mei lalu. Tapi, prestasinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia sudah mengoleksi 44 medali emas dari berbagai kejuaraan, mulai tingkat daerah hingga dunia. Dua emas terakhir merupakan medali pertamanya di ajang internasional. Bila digabung dengan medali perak dan perunggu, Meisya memiliki sekitar 60 medali.

Saking banyaknya medali, orang tua Meisya harus menyediakan dua lemari kaca gantung untuk menampungnya. Selain medali, sejumlah piala juga tertata rapi di sudut ruang tamu. Salah satunya dia dapat dari kejuaraan dunia itu.

Pemegang sabuk cokelat kyu 2 tersebut digembleng sang ayah yang seorang anggota TNI-AD itu. Tiga bulan lamanya dia dipersiapkan untuk menghadapi kejuaraan dunia di Luksemburg. Dia berlatih dua jam sehari dan intensitasnya ditambah dua kali lipat pada hari libur sekolah. Meisya tidak pernah mengeluh, malah termotivasi.

Keluarga Ali memang keluarga karateka. Tiga kakak Meisya lebih dulu menjadi atlet karate. Sedangkan sang adik M. Langit Pamungkas, 7, kini sedang digembleng mengikuti jejak kakak-kakaknya. Ketertarikan Meisya terhadap karate juga dilatari kakak-kakaknya yang rajin berlatih di rumah. Dalam latihan-latihan awal, Ali langsung bisa mencium bakat besar putrinya itu.

Baru setahun dilatih, Meisya langsung diikutkan kejuaraan nasional yang dilaksanakan di Bengkulu. Hasilnya, Meisya membawa pulang medali emas. Selanjutnya, dia terus mendulang medali dalam berbagai ajang.

Ali mengakui, memang tidak mudah melatih Meisya yang masih bocah. "Awalnya dia masih suka main," ungkapnya. Lama-kelamaan Meisya makin nyaman dengan hobi olahraga bela dirinya itu.

Meisya termasuk cepat belajar. Dengan posisinya saat ini, dua tingkat lagi dia akan memegang sabuk hitam. Ali tidak ragu untuk melatih dia melebihi usianya karena yakin Meisya mampu. Kemenangan kategori Kata Female U11 adalah salah satu hasilnya. 

Kategori Kata merupakan unjuk kebolehan individual seorang karateka. Berbeda dengan Kumite yang menyuguhkan pertarungan. Meisya meraih kemenangan karena menampilkan Kata Chatanyara Kushanku dengan apik. "Sebenarnya itu (Chatanyara Kushanku) untuk karateka dewasa, tapi saya yakin dia bisa," tegas pria kelahiran 24 April 1967 itu.

Keberadaan Meisya di kejuaraan dunia itu merupakan hasil seleksi yang diadakan Kemendikbud secara berjenjang. Pada ajang Coupe Internationale de Kayl 2016 tersebut, Indonesia mengikuti enam kategori. Namun, atlet pelajar yang dibawa hanya lima. "Karena Meisya ikut di dua kategori," ucapnya.

Selama kejuaraan, gadis cilik yang juga hobi berenang itu tidak didampingi orang tuanya. Masalah pun sempat terjadi karena persoalan ketidakcocokan makanan. "Saya pengin makan nasi, tapi di sana susah," kenang siswi kelas V SDN Dayeuhkolot Bandung tersebut. 

Ali bersyukur Meisya dikaruniai bakat yang lebih. Bertahun-tahun menekuni cabang bela diri itu membuat Ali langsung tahu sejak awal bahwa anaknya punya talenta. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah berniat menjadikan anak-anaknya seorang karateka.

Selain anak-anaknya, Ali melatih sejumlah bocah di Dojo Yion Zipur 3 Bandung. Kepada para muridnya, dia selalu mengingatkan bahwa bela diri tidak boleh digunakan untuk menyakiti lawan. Karena itulah, semua anaknya tergolong kalem dan hormat kepada siapa pun. "Tidak kelihatan kalau mereka bisa karate," ujarnya. BAYU PUTRA/c9/ari/JPNN/pda

BACA JUGA: Sudah Ratusan Pria Menikahi Putri Jin di Gunung Salak

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Balik Sel Tahanan, Si Janda Cantik Ini Tetap Tebar Senyuman


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler