Helmy Yahya: Apa Artinya Pemberhentian Dengan Hormat?

Jumat, 17 Januari 2020 – 20:01 WIB
Mantan Dirut TVRI Helmy Yahya memberikan keterangan pers, Jumat (17/1), di Jakarta ihwal pemecatannya. Foto: Boy/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Helmy Yahya mempersoalkan kalimat “pemberhentian dengan hormat” dalam surat pemberhentiannya dari jabatan dirut Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia (TVRI) oleh dewas. 

Pemecatan Helmy Yahya itu tertuang dalam surat keputusan Dewas TVRI Nomor: B/Dewas/TVRI/RI/2020 tertanggal 16 Januari 2020. 

BACA JUGA: Menkominfo Sesalkan Kisruh di Internal TVRI

“Saking sayangnya mereka dengan saya, anda lihat dalam lampiran keputusan pemberhentian saya. Sebenarnya mereka memberhentikan saya dengan hormat. Apa artinya pemberhentian dengan hormat?” kata Helmy dalam jumpa pers di salah satu restoran kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (17/1).

Helmy tidak ingin menjelaskan lebih lanjut, karena dia merasa bukan orang hukum, melainkan seorang akuntan.

BACA JUGA: Dipecat Dewas, Helmy Yahya Banggakan Laporan Keuangan TVRI

Lantas, dia pun menyerahkan kepada penasihat hukumnya, Chandra Hamzah, yang dari awal jumpa pers duduk di sampingnya untuk memberikan penjelasan mengenai kerancuan tersebut.

“Bang Chandra saya mohon menjelaskan apa sih artinya pemberhentian dengan hormat itu?” kata Helmy.

BACA JUGA: Mendadak Helmy Yahya Diberhentikan dari Jabatan Dirut TVRI

Chandra menjelaskan di LPP TVRI sangat unik maka sebenarnya tidak ada kategori pemberhentian hormat dan tidak hormat, meskipun Dewas memiliki kewenangan memberhentikan. 

Dia menilai isi surat dewas yang disebut-sebut menjabarkan kesalahan Helmy, kontradiktif dengan lampiran yang menyatakan pemberhentian dengan hormat.

“Kalau pemberhentian dengan hormat artinya tanpa kesalahan. Ini kontradiktif dengan lampiran suratnya. Cover letter-nya di sini ada beberapa kesalahan, katanya. Jadi, kontradiktif,” kata Chandra.

Dia menjelaskan kalau dalam literatur-literatur, seperti Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) atau lainnya, kalau pemberhentian dengan hormat itu tanpa kesalahan.

“Kalau dengan kesalahan harusnya (pemberhentian) dengan tidak hormat,”  ujar Chandra.

Mantan pimpinan KPK itu menyatakan bahwa memang dewas memiliki kewenangan memberhentikan direksi.

Namun, kata dia, yang perlu dilihat adalah bahwa  orang yang memiliki kewenangan bisa dipermasalahkan kalau menjalankannya dengan sewenang-wenang.

“Atau menjalankan kewenangan itu tidak sesuai dengan peraturan. Walaupun punya kewenangan tetapi kalau sewenang-wenang itu menjadi masalah,”  kata Chandra. 

Dia juga mempersoalkan dewas pernah menonaktifkan Helmy, dalam surat tertanggal 4 Desember 2019. Chandra menegaskan bahwa di dalam LPP TVRI, dewas sama sekali tidak punya kewenangan menyatakan direksi nonaktif.

“Kecuali kalau direksi kena pidana. Nah, apakah Pak Helmy Yahya sudah kena pidana, faktanya tidak,” kata Chandra.

Sementara itu, Helmy menambahkan bahwa dari satu dari lima Dewan Pengawas, yakni Supra Wimbarti berbeda pendapat.

Menurut dia, Supra sudah berbeda pendapat dan tidak menandatangani surat penonaktifannya 4 Desember 2019 lalu.

“Dia sudah dissenting opinion. Ibu Supra ini doctor, phd, pernah jadi dekan psikolofi UGM, dan juga anggota pansel capim KPK yang lalu,” kata Helmy.

Chandra mengatakan bahwa Supra dalam salah satu pemberitaan di media online menginginkan penyelesaian kasus ini tidak dilakukan dengan pemecatan. (boy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler