Menyoal Perpres Terkait Penanggulangan Terorisme

Hendardi: Ini Gambaran Nafsu TNI Merengkuh Kewenangan Baru

Selasa, 12 Mei 2020 – 19:55 WIB
Ketua Setara Institute, Hendardi. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute, Hendardi merespons rencana Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden) terkait dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme.

“Dari draf yang beredar, Rancangan Prespres yang disusun pemerintah justru keluar jalur dan melampaui substansi norma pada Pasal 43I tersebut. Apa yang disajikan dalam Rancangan Perpres tersebut merupakan gambaran nafsu TNI untuk merengkuh kewenangan baru yang melanggar Konstitusi,” kata Hendardi dalam keterangan persnya, Selasa (12/5/2020).

BACA JUGA: Langkah Jokowi Membuat Kelompok Radikal Gemetar, Ketakutan

Hendardi menjelaskan konstitusi yang dilanggar yakni terkait Pasal 30 ayat (4) UUD Negara RI 1945), bahwa TNI adalah alat pertahanan yang melakukan operasi militer perang dan operasi militer selain perang yang hanya bisa dijalankan atas dasar kehendak politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Artinya, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang harus berdasar pada Keputusan Presiden yang dikonsultasikan dengan DPR,” katanya.

BACA JUGA: 25 Perwira Tinggi TNI Naik Pangkat Termasuk Letjen TNI Moch Fachruddin, Selamat Bekerja!

Lebih lanjut, Hendardi menjelaskan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, yang dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI, pada 4 Mei 2020 untuk memperoleh persetujuan DPR, adalah mandat Pasal 43I ayat 1,2, dan 3, yang pada intinya menyebutkan bahwa Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, yang detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres.

Sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, maka penyusunan RPrespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum RPerpres tersebut.

BACA JUGA: Pelibatan Pejabat TNI AL di Kepengurusan Saka Bahari Harus Dimaksimalkan Lagi

Mengacu pada Pasal 43I, menurut Hendardi, maka yang seharusnya disusun oleh pemerintah dalam menerjemahkan mandat delegasi dari norma tersebut adalah menyusun kriteria dan skala ancaman.

Selain itu, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan. Termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri, dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme, karena tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI, ketika melakukan tindak yang melanggar hukum.

“Di luar lingkup di atas, RPerpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum,” tegas Hendardi.

Sementara, RPerpres yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system, dengan pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah.

Draf Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.

Hendardi menilai cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam RPerpres adalah mengancam supremasi Konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga.

RPerpres juga berpotensi men-sabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi dan merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri.

Sebagai gambaran, menurut Hendardi, salah satu tugas TNI yang digambarkan dalam RPerpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial.

Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga. Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil.

Atas dasar itu, menurut Hendardi, DPR dan Presiden Jokowi harus menolak RPerpres ini. Apalagi dibahas di tengah Pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat.

“Memaksa mengesahkan RPerpres dengan rumusan sebagaimana draf yang beredar, DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar UU dan melanggar Konstitusi,” tegas Hendardi.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler