Raih Predikat Cum Laude Doktor Hukum

Henry Indraguna Dorong Optimalisasi Pengawasan Eksternal Hakim

Rabu, 07 September 2022 – 08:59 WIB
Henry saat sidang terbuka untuk mempertahakan Disertasi Program Doktor Hukum (S3) Program Pascasarjana Universitas Borobudur di Jakarta, Sabtu (3/9/2022). Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Raih predikat cum laude Doktor Hukum Universitas Borobudur, Henry Indraguna mendorong optimalisasi pengawasan eksternal hakim.

Dr Henry Indraguna, SH, MH yang dikenal sebagai pengacara kondang ini mengusulkan agar kewenangan Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim lebih diperkuat. Yakni bisa memberikan sanksi kepada hakim yang terbukti melanggar peraturan dan undang-undang.

BACA JUGA: Hendry Chairudin Bangun: Pengaduan ke Dewan Pers Meningkat

Menurut dia, usulan tersebut agar integritas hakim bisa terjaga guna mewujudkan independensi hakim sehingga putusan bisa memenuhi keadilan para pencari keadilan.

“Melalui optimalisasi pengawasan hakim secara eksternal memang sudah ada lembaga KY. Namun sifatnya hanya rekomendasi ke Mahkamah Agung (MA). Seharusnya KY diberi kewenangan yang luas untuk memutuskan salah atau tidak dengan memberikan sanksi pidana," ujar Henry seusai sidang Disertasi Program Doktor Hukum (S3) Program Pascasarjana Universitas Borobudur di Jakarta, Sabtu (3/9/2022).

BACA JUGA: Henry Indraguna Mengaku Bangga Jadi Warga Kehormatan PSHT

Anggota Tim Ahli Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres) ini menyusun disertasi berjudul “Membangun Integritas Hakim Guna Mewujudkan Independensi Hakim Dikaitkan Putusan Berkeadilan Melalui Optimalisasi Pengawasan Eksternal”.

Saat ujian terbuka dengan Promotor Prof Dr. Faisal Santiago, SH, MM dan Co-promotor Dr. Suparno, SH, MH, Promovendus Henry Indraguna dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan (cum laude) dengan IPK 3,98.

BACA JUGA: Mencicipi Cimol Dan Cireng, Henry Lau: Enak Banget

Ujian Doktor Ilmu Hukum Henry Indraguna tersebut dihadiri anggota Wantimpres Dr. (HC). dr. H. R. Agung Laksono, anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Nasdem Hj Titik Prasetyowati Verdi, Senator di DPD RI Hj. Fahira Idris, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Adv. Dr. Tjoetjoe S Hermanto, dan Direktur Alfarmart Solihin.

Sedangkan sejumlah tokoh lainnya tidak tidak bisa hadir dan memberikan ucapan selamat dengan mengirimkan rangkaian bunga.

Mereka antara lain Presiden RI Ir Joko Widodo, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Wamendag Dr Jerry Sambuaga, Ketua MA Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH., MH., Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, M.Si, dan Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., MM, Ketua Wantimpres Dr Wiranto, Bendum DPP Golkar Dito Ganinduto, Waketum DPP Golkar Dr Ahmad Doli Kurnia.

Selanjutnya, Ketua Dr Iqbal Wibisono, Ketum DPP Bapera Fahd El Fous Arafiq, Ketua PPK Kosgoro 1957 dan Sekjen M Sabil Rachman, Ketua DPD I Partai Golkar Jateng Ir Panggah Susanto, Ketua DPD Partai Golkar Surakarta Kusrahardjo, Ketua DPD Golkar Boyolali Fuadi, SH.MH, Ketua Golkar Sukoharjo Sardjono SM,SE, Ketua Golkar Klaten dan Wakil Bupati Klaten Yoga Hardaya, SH.MH, Anggota DPRD Jateng Bondan Sejiwan Bomo Aji.

Henry menegaskan sangat diperlukan hakim berintegritas tinggi agar keadilan di Indonesia ini bisa ditegakkan dengan seadil-adilnya.

Sebab biar bagaimanapun juga keadilan itu adalah milik semua warga Indonesia. Keadilan itu milik bangsa kita dan menjadi hak asasi setiap WNI.

“Jangan sampai pisau keadilan itu tajam kebawah, tumpul ke atas. Sampai saat ini yang masyarakat soroti masih banyaknya oknum hakim yang bermain  suap, meminta dan membela kepada pihak yang bisa bayar. Maka dari itu saya tertarik meneliti studi integritas hakim," terang Henry.

Disertasi Henry membahas bagaimana hakim sebagai bagian dari penegakan hukum (law enforcement) yang seharusnya memperlihatkan tegaknya sendi-sendi hukum dan terwujudnya keadilan sebagai tujuan utama dari hukum, ternyata tidak selamanya berjalan lurus sesuai dengan yang diharapkan.

Henry menyebut beberapa faktor yang menyebabkan hakim bisa "nakal". Faktornya bisa beragam.

Ada yang mencari uang karena faktor ekonomi, ada yang karena intervensi atasan, intervensi luar dari kolega, pihak terdakwa sendiri melalui kuasa hukumnya dan juga dari keluarga si hakim bisa saja terjadi.

“Semua perkara ada celahnya. Jadi sekarang sudah jamak di masyarakat yang tidak percaya terhadap hakim yang berintegritas. Apalagi yang berperkara yang tidak mampu melawan yang punya kekuatan uang. Yang tidak punya ada rasa ketidakpercayaan terhadap proses hukum bisa berjalan adil. Kita akan kalah. Ada ketakutan itu," jelas Henry.

Empat Pilar Penegak Keadilan

Dia menambahkan empat pilar penegak keadilan, yakni jaksa, hakim polisi dan pengacara harus juga dilihat faktor ekonomi yang bisa memengaruhi mereka melaksanakan penegakan hukum yang berkeadilan.

Jadi negara juga harus memberikan  memberikan gaji yang cukup.

"Untuk menjadi empat pilar penegak hukum yang berintegritas, mereka juga harus sudah selesai dengan urusan mereka sendiri. Harus sudah terlepas kecukupan diri sendiri. Jadi kalau mereka masih mencari dan rakus  kekayaan, sangat sulit penegakan hukum mampu memenuhi rasa keadilan. Tidak akan selesai jika masih menyisakan masalah," kata Henry.

"Kemudian kalau mau bersih, ya harus clean and clear semua. Jadi, saya selalu berpatokan dengan Pancasila. Seperti yang tadi dpaparkan dalam disertasi saya,” kata Hendry.

Sebab, kata dia, sila pertama, Ke-Tuhanan yang Maha Esa maka pedoman berbangsa dan bernegara ini harus dipegang teguh oleh hakim saat mengambil putusan. Dimaksudkan agar hakim itu berintegritas. Karena apa, kalau dia juga takut Tuhan, takut dosa, maka dia tidak akan mengambil keputusan yang merugikan para pihak," imbuh Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.

Henry juga menyebut sekarang ini jadi pengacara bersih susah. “Saat saya jadi pengacara, buat laporan saja keluar uang," ujarnya.

Henry menambahkan, tiga pilar penegak hukum juga harusnya bekerja sama.

"Begitu perkara dibuka SPDP, antara JPU dan penyidik sudah bisa bekerja sama, apakah ada unsur pidananya atau tidak. Bukti permulaan sudah cukup apa belum. Makanya ada perkara sudah tersangka masuk ke Kejaksaan  P19. Balik lagi gitu," bebernya.

Penegakan Sanksi Tegas

Dalam disertasinya, Henry Indraguna telah mengumpulkan data-data bahwa independensi hakim saat ini belum sepenuhnya terwujud dengan masih adanya putusan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Hakim belum sepenuhnya mengikuti nilai-nilai objektif dalam menjalankan tugas. Nilai-nilai objektif terdesak oleh nilai subjektif, sehingga terjadi pergeseran-pergeseran nilai, yakni dari nilai objektif ke nilai subjektif.

"Oleh karena itu diperlukan reorientasi terhadap nilai-nilai yang menjadi pedoman hakim dalam menjalankan tugas. Diperlukan kontrol sosial dan kontrol budaya untuk mengembalikan nilai-nilai yang tercemar, terputus dan hilang tersebut," jelas founder Firma Hukum Henry Indraguna and Partners ini.

Hakim dalam menangani perkara harus bersifat independen dan berintegitas, supaya putusan yang dikeluarkan dapat menciptakan rasa keadilan, dikarenakan seorang hakim terikat dalam kode etik profesi hakim yang mengharuskan hakim bersikap jujur, adil dan berintegritas.

Objektivitas hakim dalam memutus merupakan bentuk penegakan hak asasi manusia di bidang peradilan, salah satu upaya mewujudkan objektivitas hakim dalam peradilan yaitu menggunakan sistem majelis hakim dalam persidangan.

"Pengawasan terhadap hakim dalam menangani perkara, diperlukan pemberian kewenangan terhadap Komisi Yudisial untuk menetapkan sanksi bukan hanya sebatas memberikan rekomendasi," tegas Henry.

Saat ini sebagai Lembaga yang diberikan kewenangan mengawasi hakim, kata Henry masih terkendala dengan kewenangan yang diberikan dikarenakan Mahkamah Agung yang menaungi beranggapan atau masih menghendaki keputusan sanksi terhadap hakim yang melanggar itu diputuskan oleh Mahkamah Agung.

Di samping itu pelibatan pers, akademisi, pegiat dan masyarakat dalam pengawasan sangat diperlukan sebagai sarana kontrol sosial terhadap hakim.

Dalam disertasinya ini Anggota Dewan Pakar Partai Golkar ini menyarankan, diperlukan adanya penegakan sanksi yang tegas terhadap hakim, yang tidak dapat mencerminkan integritas dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik profesi hakim, dan penerapan sanksi terhadap sumpah jabatan hakim  dengan sanksi pidana.

"Promosi karir seorang hakim termasuk menjadi seorang Hakim Agung harus berdasarkan integritas dan rekam jejak bersikap independen dalam menangani perkara dapat dilihat dari putusan-putusan yang sudah dikeluarkan," jelasnya.

Henry juga menyarankan diperlukan perubahan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terkait pemberian kewenangan memutuskan sanksi terhadap hakim yang melanggar.

"Saya akan mengusulkan hal itu dan mendorongnya dalam kapasitas saya sebagai Anggota Tim Ahli Wantimpres dan Insyaallah bila nanti Tuhan berkehendak saya sebagai Anggota DPR RI akan terus berkomitmen memperjuangkan," pungkas Ketua PPK Kosgoro 1957 yang akan maju di Pileg 2024 mewakili Dapil Jateng V (Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Boyolali) ini.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler