jpnn.com, JAKARTA - Baru-baru ini, Polri dan TNI membantah melakukan pendekatan militer di Tanah Papua. Melalui Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono dan Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad, Polri dan TNI membantah informasi yang mengatakan bahwa TNI dan Polri menggunakan pendekatan militer dalam menyelesaikan persoalan Tanah Papua.
Pernyataan ini mengejutkan karena menurut Beni Sukardis, pengamat militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis (LESPERSSI), pendekatan militer yang dijalankan pemerintah pusat di Papua tidak akan berhasil menciptakan kedamaian. Pendekatan tersebut tidak berhasil sama sekali menciptakan situasi kondusif di Papua.
BACA JUGA: Tokoh Jayawijaya Papua: Jangan Biarkan, Mereka Jual, TNI dan Polri Beli
Sementara itu, Aminuddin al Rahab, seorang Peneliti di ELSAM, Jakarta dan Inisiator Pokja Papua yang mendalami masalah hak asasi manusia dan militer serta politik lokal, dengan spesialisasi masalah separatisme dan gerakan perlawanan di Papua, menulis secara tegas mengenai operasi-operasi militer di tanah Papua sejak masa ABRI. Semua kisah operasi militer itu tentu saja menyisakan pertanyaan tentang penegakan HAM di Papua.
Di tahun 2015, Natalius Pigai, yang waktu itu menjadi salah satu Komisioner KOMNAS HAM, menyebutkan bahwa sejak Desember 2014 terjadi kasus penembakan yang merupakan akibat dari pendekatan militeristik, yaitu penembakan di Kabupaten Paniai (Desember 2014), penembakan di Kabupaten Yahukimo (20 Maret 2015), penembakan di Kabupaten Dogiyai (Juni 2015), kasus amuk massa di Tolikara (17 Juli 2015), dan penembakan di Kabupaten Timika (Agustus 2015).
BACA JUGA: Jenderal Idham Azis Dinilai Kurang Sensitif Atas Insiden Teror di Sigi
Selepas itu, di tahun 2019, rencana kebijakan pemerintah memekarkan Papua, diperdebatkan oleh Ketua Sinode Gereja Kingmi, pendeta Benny Giay, yang merasa khawatir dengan adanya penambahan pasukan militer di wilayah baru yang bisa menciptakan lagi konflik berkepanjangan.
Pada Oktober 2020, tulisan dari Tangguh Chairil dan Wendsney A. Sadi (2020) yang berangkat dari peristiwa serangan di Nduga terhadap 31 pekerja konstruksi, yang menurut aparat keamanan Indonesia dikatakan bahwa serangan tersebut diatur oleh Egianus Kogoya, pemimpin sayap bersenjata OPM di Nduga, maka pemerintah pusat pun mengirimkan 154 tentara dan polisi untuk memulihkan keamanan.
BACA JUGA: Filep Wamafma: Beri Kewenangan untuk Pemprov dan Rakyat Papua Mengatur Daerah Sendiri
Chairil dan Sadi menambahkan bahwa selama tahun 2019, ada 21 kali baku tembak antara aparat keamanan (TNI dan Polri) dan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB), yang menewaskan sembilan prajurit TNI dan dua personel Polri serta sepuluh warga sipil.
Tingkat kekerasan ini berlanjut hingga 2020. Armed Conflict Location and Event Data Project (ACLED) mencatat bahwa pada 1 Januari-26 September 2020, terdapat 100 peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat, yang terdiri atas 40 pertempuran, 22 kerusuhan, dan 38 kekerasan terhadap warga sipil, dengan jumlah korban jiwa mencapai 57 orang.
Sebagai perbandingan, jumlah peristiwa konflik di Papua dan Papua Barat sepanjang 2019 adalah 96 peristiwa.
Mungkin saja beberapa peristiwa terlewatkan begitu saja karena sangat banyak. Mungkin juga banyak kisah terlupakan karena memang demikianlah yang sering dialami Orang Papua.
Ditambah lagi dengan problem rasisme, menyebabkan Papua seperti kelinci percobaan kebijakan negara.
Apakah semua cita-rasa militeristik itu berhasil mendamaikan hati Orang Papua di Tanah Papua?
Faktanya, tembak-menembak masih terjadi, tingkat kecurigaan antara masyarakat semakin tinggi, dan akhirnya berimbas pada persoalan ideologi yang tertanam di nurani generasi muda Papua. Dengan demikian, sudah saatnya pendekatan militer ini harus dihentikan.
Nuansa Kultural
Orang Papua sesungguhnya mencintai kedamaian di tanah leluhurnya sendiri. Harapan akan adanya kedamaian tidaklah dicapai dengan senjata, perang, ataupun saling membunuh.
Ruang hidup Orang Papua adalah kebudayaannya, nuansa kultural, yang entah mengapa jarang memiliki tempat di mata pemerintah. Pendekatan kultural itu bisa dimulai dengan mengekplorasi kerja sama yang signifikan dengan 7 (tujuh) wilayah adat yaitu Mamta (Mamberamo-Tami/wilayah Tabi), Saereri, Ha Anim, La Pago, Mee Pago (kelimanya di wilayah Papua) dan Bomberai serta Domberai di Papua Barat.
Nuansa kultural inilah yang seharusnya menjadi pendekatan paing manusiawi. Aceh sudah berhasil melakukannya. Apakah Papua bisa didekati dengan cinta kasih? Betapa susahnya kedamaian itu.
Mungkin karena itu sejak dulu Orang Romawi selalu mengataka, “si vis pacem, para bellum”, jika engkau menginginkan kedamaian, maka siapkanlah perang!
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich