Hermawi Taslim: Kerukunan Beragama di Indonesia Menunjukkan Kemajuan

Selasa, 27 Oktober 2015 – 04:20 WIB
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr. Ignatius Suharyo dan Ketua Komisi Keluarga Mgr Frans Kopong (duduk di tengah berjaket putih dan hitam) berfoto bersama dengan anggota Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Katolik Indonesia Di Kota Abadi (IRRIKA) di Collegio St. Petro, Roma, Minggu (25/10) setelah penjelasan hasil Sinode Para Uskup seluruh dunia di Vatican. FOTO: Hermawi Taslim dari Roma, Italia for JPNN.com

jpnn.com - ROMA – Meskipun masih terdapat beberapa kasus terkait kebebasan beragama, namun pada dasarnya terdapat kemajuan yang sangat signifikan dalam kerukunan umat beragama di Indonesia. Oleh karena itu, para pemuka agama perlu terus berpikiran positif dalam membangun kebersamaan bagi terwujudnya perdamaian berdasarkan Pancasila.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (FORKOMA PMKRI) Hermawi Franziskus Taslim di depan ratusan anggota Ikatan Rohaniwan-Rohaniwati Katolik Indonesia di Kota Abadi (IRRIKA), yang sedang melakukan studi di Italia, Minggu (25/10).

BACA JUGA: Bocah 14 Tahun Ini Sangat Berani, Dijuluki Malala Dari Afganistan

Bersama Taslim juga turut berbicara di Collegio St. Petro, Roma itu, Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Bangsa), AM Putut Prabantoro.

Hermawi Taslim dan Putut menjadi pembicara atas permintaan Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Ignatius Suharyo, yang baru saja mengikuti Sinode Para Uskup Sedunia di Vatikan bersama Ketua Komisi Keluarga KWI, Mgr. Frans Kopong.

BACA JUGA: Karena Asap, Jokowi Percepat Pulang dari Amerika

Hermawi Taslim dan AM Putut Prabantoro berada di Roma dalam rangka memenuhi undangan Vatikan untuk hadir dalam Konferensi Internasional Peringatan 50 tahun dokumen NOSTRA AETATE (Pada Jaman Kita) pada 28 OKtober 1965.

Nostra Aetate adalah, satu dari 16 dokumen independen dan normatif dari Konsili Vatikan II yang ditandatangani oleh Paus Paulus VI, pada saat-saat menjelang penutupan Konsili.

BACA JUGA: Pesawat British Airways Mendarat Darurat, Sayap Terseret Sepanjang Landasan

Dokumen tersebut berisi manifestasi sikap keterbukaan Gereja Katolik dalam membangun  dan sekaligus memperkokoh hubungan umat Katolik dan pemeluk-pemeluk agama Non-Kristen. Perayaan pesta emas itu sendiri dibentuk dalam kemasan momentum kenangan, syukur dan pembaruan komitmen.  

Acara yang berlangsung dari tanggal 26-28 Oktober 2015 ini dihadiri para tokoh dan pemimpin agama dari berbagai belahan bumi, juga para peserta dari berbagai kalangan. Tiga tema besar yang menjadi bahasan dalam perayaan tersebut yakni Dialog Agama sebagai Pelayanan Terhadap Manusia, Kekerasan dan Peran Agama Untuk Perdamaian, dan Tantangan Terhadap Kebebasan Beragama. Pada akhir selebrasi  50 tahun Nostra Aetate, para peserta akan bertatap muka dengan Paus Fransiskus dalam acara audiensi umum.

Lebih lanjut, Hermawi Taslim mengatakan kehidupan keagamaan harus dibangun dalam semangat kesetaraan dan saling menghormati. Konflik agama tidak melulu selalu diawali dari persoalan agama itu sendiri tetapi dapat berawal juga dari persoalan sosial kemasyarakatan lainnya.

Oleh karena itu, Taslim menegaskan, para pemuka agama harus sering bertemu dalam konteks kebudayaan dan sosial dengan membangun aksi nyata. Taslim juga mendorong para pemuka agama dan adat untuk menghindari dialog-dialog semu yang sifatnya seremonial belaka.

“Kita harus melakukan tindakan nyata di lingkungan di mana kita hidup dan sekaligus juga peka terhadap persoalan yang muncul di masyarakat sekitar.  Persoalan muncul ketika para pemuka agama tidak peka terhadap dunia sekitar,” ujar Taslim melalui siaran persnya dari Roma, Italia seperti diterima JPNN.com, Selasa (27/10).

Sementara itu, Putut Prabantoro meminta para rohaniwan-rohaniwati Katolik untuk tetap optimistis dalam membangun persatuan bangsa melalui agama, budaya, suku dan adat istiadat.

Cara yang terbaik, Putut Prabantoro mengusulkan, para pemuka agama untuk menyosialisasikan pemikiran-pemikiran pluralisme dan nasionalisme dengan menulis di media masa.

“Mencerahkan kehidupan bersama dalam konteks kerukunan beragama harus dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Dengan menulis di media masa, bangsa Indonesia akan tercerahkan dan sekaligus terdorong untuk membangun persatuan Indonesia sebagaimana dicita-citakan para pendiri negara. Jadi menulis di media ukurannya bukanlah soal siapa tetapi soal substansi pemikiran yang ditelorkan,” tegas Putut Prabantoro.

Menurutnya, opini itu tidak mengenal agama, suku ataupun ras. Opini di media, demikian ditegaskan Putut, akan memiliki nilai ketika bisa menggerakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang positip. Oleh karenanya, adalah perlu bagi para pemuka agama untuk menguji secara publik pemikiran-pemikirannya.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahsyat, Gempa Bumi Guncang Afghanistan Tewaskan 135 Orang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler