jpnn.com, JAKARTA - Seniman multitalenta sekaligus perupa film Heru Mulyadi menggelar acara tak biasa di sekitaran rumahnya, kawasan kampung Makassar, Jakarta Timur.
Dalam acara yang diselenggarakan sebagai peringatan HUT ke-73 RI ini, Heru Mulyadi membacakan sajaknya berjudul Bangkitlah! Pemuda Saudaraku.
BACA JUGA: Kreativitas Warga Patut Diacungi Jempol
Acaranya sendiri bertemakan, ”Pameran Seni Rupa Film Indonesia - Dalam Rupa yang Tak Biasa.”
Melalui taklimat ini, Heru Mulyadi menguraikan pengertiannya tentang fungsi seni, dengan harapan membawa pengaruh mendalam atas perkembangan kehidupan sosial masyarakat.
BACA JUGA: Ini Kerupuk Pak Jenderal, Mana Kerupukmu?
“Untuk mengabdi seni, karya-karya seniman harus bertolak dari situasi sosial di lingkungannya. Sehingga keseniannya mendapat energi dan kemanfaatan,” ujar seniman multi talenta, perupa film Indonesia ini, usai membacakan sajaknya, Bangkitlah! Pemuda Saudaraku.
Setelahnya, ribuan warga berjejer sepanjang jalan menanti arak-arakan yang dikomandoi Heru Mulyadi. Warga peserta arak-arakan tampil dengan berbagai kostum dan aksesoris sesuai karakternya. Ada pasukan tentara Belanda, pasukan tentara Jepang, pasukan tentara Rakyat, prajurit Keraton Yogyakarta, busana Nusantara (dari Sabang sampai Merauke), serta kostum dan properti lain, yang pernah digunakan dalam sejumlah produksi film Indonesia.
Dalam acara memperingati HUT ke-73 RI ini juga juga melibatkan para seniman, budayawan, artis film dan sinetron, tokoh masyarakat, serta para pejabat terkait, antara lain Lurah dan Camat Kelurahan Makasar Jakarta Timur.
Aktris senior Yati Surachman yang turut mendukung acara mengatakan, Heru Mulyadi termasuk seniman dedikatif menekuni bidangnya. Film kata Yati, adalah karya kolektif. Salah satu unsurnya adalah artistik; tata busana, tata rias, dan properti. Tiga unsur ini membentuk ruang dan waktu yang memperkuat visual, gambar (sinematografi).
“Elemen ini sama pentingnya dengan bidang saya sebagai aktris. Lebih seperempat abad Heru berkiprah secara konsisten di bidang ini. Kita perlu mengapresiasinya,” ujar Yati Surachman.
Kostum dan properti film yang diperagakan di acara “Pameran Seni Rupa Film Indonesia, Dalam Rupa yang Tak Biasa” ini, merupakan karya Heru Mulyadi. Kostum-kostum tersebut pernah digunakan dalam produksi film, antara lain, di film Kereta Api Terakhir, Roro Mendut, Jaka Sembung, Merebut Angan, Secangkir Kopi Pahit, sinetron Badai Pasti Berlalu, Sirkuit Kemelut, Borobudur, Ronggo Warsito, Lorong Waktu, Ali Topan, Zorro, Pedang Keadilan, Bende Mataram, Lucu Braja Sang Pendekar, Mahapatih Gajahmada, dan karya film lainnya.
Seni film, kata Heru, memerlukan banyak medium untuk menjelaskan kepada masyarakat terhadap apa yang dibayangkannya sebagai sebuah peristiwa. Bahkan untuk membangun imaji sebuah pengalaman yang seolah-olah real time.
“Maka inilah seni rupa film yang kita hadirkan dalam rupa yang tidak biasa. Karya sastra atau keberaksaraan ini diberi sentuhan seni rupa. Selanjutnya melibatkan warga masyarakat menjadi bagian dari upacara dan menjadi momen kebenaran yang nyata pada hari ini,” ujar guru kehidupan alumni Fakultas Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Sosial Universitas Nusa Cendana Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1978 ini.
Jika lazimnya perayaan akbar dilaksanakan di tempat yang dipandang representatif, Heru Mulyadi justru memilih lingkungan padat penduduk untuk menggelar repertoar seni ini. Heru beralasan ingin lebih dekat dengan masyarakat di sekitaran rumah tinggalnya yang selama ini banyak memberi inspirasi dan melahirkan berbagai karya in-convensional.
Bagi seniman kelahiran Yogyakarta, 29 Oktober 1958 ini, lingkungan dan masyarakat adalah denyut nadi pemberi energi kehidupan yang tak dapat dipisahkan. “Saya ingin karya-karya saya bisa bersentuhan langsung dan memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan,” harapnya. (mg7/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh