Hery Susanto: BPJS Kesehatan Salah Urus, RS Belum Ikhlas

Kamis, 12 Maret 2020 – 17:04 WIB
Petugas sedang melayani pendaftaran pengguna BPJS Kesehatan di Rumah Sakit. Foto Ricardo/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua KORNAS MP BPJS Hery Susanto, menyebut defisit belasan triliun rupiah yang dialami Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, bukan disebabkan oleh kurangnya premi yang dibayarkan peserta, tetapi karena kesalahan sistem.

Hal itu, disampaikan Hery dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk "Progres BPJS Kesehatan Pasca Putusan MA?" di Media Center MPR/DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (12/3).

BACA JUGA: Hidayat PKS: Putusan MA Batalkan Kenaikan BPJS Menampar Wajah Pemerintah

"Jadi sebelum iuran naik, BPJS Kesehatan sudah defisit. Walaupun naik 100 persen defisit enggak akan hilang. Apa penyebabnya? Kalau saya melihat bukan di premi tetapi lebih kepada sistem, grand design daripada BPJS itu yang sudah salah urus dan salah sistem," kata Hery.

Apa yang salah? Menurut Hery, salah satu persoalannya ialah belum ikhlasnya pihak rumah sakit (RS) dengan pola INA-CBG (Indonesia Case Base Groups), sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk pengajuan klaim pada pemerintah.

BACA JUGA: Jazuli: Putusan MA soal Iuran BPJS Sesuai dengan Perjuangan PKS

Hal itu karena penerapan pola paket pembayaran BPJS Kesehatan dengan model kelompok diagnosis yang dianggap terlalu murah. Hal ini menyebabkan banyaknya permainan di lapangan seperti klaim fiktif.

"KPK sudah merilis ada satu juta klaim fiktif dan sampai sekarang belum bisa dihentikan karena masih berlangsung, dan penyebabnya adalah tidak adanya sanksi hukum yang tegas masih sifatnya administratif," jelas Hery.

BACA JUGA: Defisit Keuangan BPJS Kesehatan, Arief: Segera Lakukan Audit Investigatif

Oleh karena itu, pihaknya menilai tidak ada gunanya menaikkan premi atau jumlah iuran selama masih menggunakakn pola pembayaran INA-CBG. Sebab, peluang oknum RS bermain angka sangat tinggi di situ.

Hery menegaskan tidak ada manfaatnya menaikkan premi. Buktinya, setelah naik 100 persen, kemudian pemerintah sudah membayar 3 bulan sebelum akhir tahun 2019 dengan nominal Rp15 triliun tetapi defisit tetap besar.

"Rp 15 triliun itu, ternyata untuk menutupi utang BPJS Kesehatan ke banyak rumah sakit dan faskes, yang belum lunas juga. Sampai sekarang masih tersisa sekitar Rp13 triliun lagi," tambahnya. (fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler