Hidayat Nur Wahid Kritik Hakim Konstitusi yang Wacanakan Sistem Pemilu Hybrid, Jleb!

Senin, 10 April 2023 – 22:55 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengkritik pernyataan hakim konstitusi Prof Arief Hidayat yang mewacanakan sistem Pemilu hybrid, kalimatnya jleb! Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik pernyataan hakim konstitusi Prof Arief Hidayat yang mewacanakan dipergunakannya sistem pemilihan umum (pemilu) hybrid.

Pernyataannya itu disampaikan Prof Arief Hidayat dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

BACA JUGA: AHY Menganalogikan Sistem Pemilu dengan Aturan Main Sepak bola, Begini

Menurut HNW, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan yang dimohonkan dan tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi hakim konstitusi, yaitu menguji konstitusionalitas norma.

”Tugas MK itu adalah memutus apakah norma yang sedang diuji itu apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak," tegas politikus senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

BACA JUGA: Surya Paloh Sebut Sikap Pemerintah soal Sistem Pemilu Sudah Jelas

Karena itu, menurut HNW, MK semestinya menyikapi apakah permohonan agar sistem Pemilu diubah dari terbuka menjadi tertutup itu sesuai dengan konstitusi atau tidak.

"Bukan malah membuat wacana sistem yang tidak ditanyakan, yaitu hybrid dengan mengakomodasi sistem terbuka untuk memilih calon presiden dan anggota DPD, dan tertutup untuk pemilu legislatif," kritiknya.

BACA JUGA: Muhaimin Optimistis Hakim MK Bakal Memutus Begini Soal Sistem Pemilu

HNW mengatakan terkait dengan sistem mana yang lebih baik atau kurang baik sebaiknya diserahkan kepada pembentuk undang-undang sebagai bentuk dari open legal policy yang biasanya menjadi pegangan dasar sikap MK.

“Jadi, MK sebaiknya cukup menegaskan bahwa sistem pemilu terbuka yang berlaku saat ini bagaimana dari segi konstitusionalitasnya. Bukan justru mengusulkan sistem yang lain, yang tidak diusulkan oleh para pemohon,” tuturnya.

Lebih lanjut HNW menjelaskan, apabila MK konsisten dengan putusannya pada 2008 yang lalu, maka sudah selayaknya permohonan pengujian sistem pemilu terbuka ini dinyatakan ditolak.

Pasalnya, MK sejak awal justru yang menyatakan sistem pemilu terbuka yang lebih sejalan dengan UUD 1945.

HNW mengaku memang mendengar adanya upaya untuk memperbaiki sistem pemilu dengan motode hybrid, tetapi hal tersebut sebaiknya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

“Misalnya, ada usulan hybrid dengan suara caleg yang mencapai suara 30 persen maka ditetapkan sebagai aleg terpilih. Namun, apabila suara partai yang mencapai 30 persen ke atas, maka partai yang menentukan aleg terpilih,” paparnya.

Hidayat mengatakan model-model dengan sistem hybrid tersebut memang memerlukan kajian dan diskusi yang mendalam.

Karena itu, lanjut dia, forum yang tepat dalam mendiskusikannya adalah dalam proses revisi UU Pemilu di DPR dengan melibatkan publik dan mengundang banyak pakar.

”Jadi, bukan persidangan di MK untuk forum mendiskusikan hal tersebut. Karena ini bukan berkaitan dengan konstitusionalitas norma," tegasnya lagi.

HNW berharap MK agar dapat fokus untuk mengadili permohonan sistem pemilu terbuka yang saat ini sedang dimohonkan.

“Agar tidak melebar kemana-mana," tandasnya.

Dia menambahkan MK sebaiknya segera memutus menolak permohonan itu, karena sistem pemilu terbuka yang merupakan produk keputusan MK sendiri yag bersifat final dan mengikat itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Namun, apabila dalam persidangan ada perkembangan mengarah ke sistem hybrid, biarkan lah itu menjadi menjadi bagian dari open legal policy yang pembahasannya berada di ranah DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang,” ujarnya.

HNW menyampaikan agar Mahkamah Konstitusi juga seharusnya konsisten dalam memeriksa legal standing atau kedudukan hukum pemohon dalam perkara ini.
Pasalnya, dalam berbagai peristiwa judicial review perkara lain, MK sangat concern dengan permasalahan legal standing pemohon.

Dia mengingatkan bahwa yang menjadi pemohon dalam perkara sistem pemilu ini adalah perorangan bukan partai politik, padahal Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan.

“Berdasarkan argumentasi ini, sudah seharusnya MK menyatakan bahwa permohonan uji materi ini tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (putusan NO) karena pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan ini," pungkasnya. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler