Hilangnya Keperawanan dan Status Hukumnya, Bisa Makin 'Kuat'

Rabu, 08 Juni 2022 – 11:51 WIB
Keperawanan seorang perempuan (Ilustrasi) Foto: Ricardo/jpnn.com

jpnn.com - Keperawanan merupakan sesuatu yang paling berharga bagi seorang perempuan.

Oleh karena itu menjaga keperawanan tak bisa ditawar lagi. Bahkan dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW menganjurkan untuk menikah dengan perempuan yang masih perawan.

BACA JUGA: Dikirimi Foto Alat Vital Pria, Istri Jerinx: Jepitin di Pintu Sana!

“Hendaklah kalian menikah dengan gadis karena mereka lebih segar baunya, lebih banyak anaknya (subur), dan lebih rela dengan yang sedikit” (H.R. Baihaqi).       

Lantas siapakah perempuan yang dikategorikan sebagai perawan? Perempuan perawan adalah perempuan yang keperawanannya atau selaput daranya masih utuh.

BACA JUGA: Keberkahan Menikahi Seorang Janda, Laksana Berjuang di Jalan Allah

Lantas apakah yang menyebabkan keperawanan itu bisa hilang? Setidaknya ada dua kategori hal-hal yang bisa menyebabkan keperawanan itu hilang.

Kategori pertama hilangnya keperawanan karena hubungan badan. Hubungan badan dalam konteks ini meliputi hubungan badan yang halal, yang haram, atau yang syubhat (wathi syubhah).

BACA JUGA: Selalu Merasa Kurang dan Tidak Pernah Puas? Begini Cara Mengatasinya

Dalam hal ini perempuan yang melakukan hubungan badan, baik hubungan badan yang halal atau yang tidak halal maka statusnya adalah bukan perawan (tsayyib).

“Keperawanan adalah menggambarkan tentang selaput dara (hymen). Jika keperawanan seorang perempuan hilang sebab hubungan badan yang halal atau haram atau wathi` syubhat maka ia menjadi tidak perawan,” (Imam al-Haramain al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, tahqiq, Abdul Azhim Mahmud ad-Dib, Bairut-Dar al-Minhaj)

Ketegori kedua, hilangnya keperawanan di luar hubungan badan. Misalnya seorang perempuan bisa hilang keperawanannya karena melakukan lompatan, memasukan jari-jemarinya ke dalam kemaluannya, atau bisa juga karena terlalu lama melajang.

Lalu, apakah perempuan yang hilang keperwanannya bukan karena disebabkan melakukan hubungan badan masih bisa dikategorikan sebagai perawan?

Dalam kasus ini Imam al-Haraiman al-Juwaini menghadirkan dua pendapat. Pendapat pertama, ia masuk dalam kategori tidak perawan karena hilangnya keperawananya.

Sedang pendapat kedua mengatakan ia masih masuk kategori sebagai perawan karena faktanya ia tidak pengalaman berhubungan dengan laki-laki.

Dan seandainya keperawanan itu hilang karena melompat-lompat, terkena jari-jemari, lama tidak mau menikah (perawan tua) atau melajang maka dalam kasus ini ada dua pendapat.

Pertama, ia dikategorikan sebagai janda karena hilangnya keperawanan.

Kedua, ia tetapi dianggap sebagai perawan karena keperawanan itu mengandaikan ketiadaan pengalamannya dalam berhubungan dengan laki-laki, sedangkan hal ini (pengalaman berhubungan dengan laki-laki) tidak ada.

Perbedaan antara perempuan yang masih perawan dan perempuan yang sudah tidak perawan ini tentunya berimplikasi status yang melekat pada keduanya.

Misalnya, dalam hal menikah perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak atas dirinya dibanding walinya.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

“Perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak dengan dirinya dibanding walinya, dan perempuan yang masih perawan dimintai izinnya, sedang izinnya adalah diamnya” (H.R. Muslim) Muhyiddin Syarf an-Nawawi menjelaskan bahwa kata ahaqqu (lebih berhak) dalam hadis tersebut mengandaikan adanya persekutuan dalam hak.

Artinya, baik pihak perempuan atau walinya sama-sama memilik hak. Perempuan memiliki hak atas dirinya dalam menentukan pasangan hidupnya, sedang wali memiliki hak untuk menikahkannya.

Namun hak perempuan tersebut lebih diutamakan atau diunggulkan daripada walinya. Akibatnya apabila terjadi perselisihan dalam memilih pasangan hidup, maka pilihan si perempuan didahulukan.

Misalnya, pihak wali menginginkan untuk menikahkan anaknya yang sudah tidak perawan lagi dengan laki-laki sekufu, tetapi si perempuan tidak mau, maka dalam hal ini ia tidak boleh dipaksa.

Atau sebaliknya, si perempuan sudah memilih pasangan hidupnya yang sekufu tetapi walinya tidak mau menikahkannya, maka dalam hal ini wali boleh dipaksa untuk menikahkannya, dan apabila tidak mau maka hakim yang menikahkannya.

Oleh sebab itu jika walinya tetap bersikeras tidak mau menikahkannya maka hakim yang menikahkan.

Hal ini menujukkan kuat dan unggulnya hak perempuan yang sudah tidak perawan.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
keperawanan   perawan   Wanita   Pernikahan   religi   Perempuan   hak   hak nikah  

Terpopuler