HJE Naik, Serikat Pekerja Desak Pemerintah Lindungi Buruh Industri Hasil Tembakau

Minggu, 15 Maret 2020 – 20:19 WIB
Buruh di pabrik rokok kretek di Pabrik Rokok Kembang Arum, Mijen, Kaliwungu, Kudus, Jateng, diupah bukan per jam tetapi hitungannya mendapat upah Rp10 ribu untuk setiap 1.000 linting. FOTO: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto pada akhir minggu lalu mengadakan kegiatan diskusi dengan perwakilan Kementerian Keuangan, asosiasi-asosiasi yang ada di Industri Hasil Tembakau (IHT), dan asosiasi makanan dan minuman, seperti Gabungan Perusahaah Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) dan Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI).

Pada kesempatan ini, FSP RTMM-SPSI mengulas isu yang tengah dihadapi anggotanya, seperti kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) dan rencana revisi PP No. 109/2012 hingga rencana yang digulirkan pemerintah terkait ekstensifikasi cukai.

BACA JUGA: Para Ibu Harus Waspada, Kini Pengedar Tembakau Sintetis Menyasar Anak-Anak

Kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) ibarat sebuah agenda tahunan yang dialami IHT. Kebijakan Pemerintah terkait tarif dan HJE selama 10 tahun terakhir telah berimbas pada pengurangan produksi, khususnya di industri sigaret kretek tangan (SKT) dan selanjutnya berdampak pada efisiensi tenaga kerja.

Data FSP RTMM-SPSI menunjukkan selama kurun waktu tersebut ada 63.000 karyawan/pekerja rokok terpaksa kehilangan pekerjaan. Di sisi lain jumlah industri berkurang drastis dari 4.700 perusahaan menjadi sekitar 700 tahun 2019 dan yang aktif pesan pita cukai sekitar 360 perusahaan. Kondisi yang sama terus menjadi momok dan ancaman kelangsungan kerja bagi yang sekarang masih bekerja.

BACA JUGA: Cukai & HJE Rokok Naik, Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib Industri Hasil Tembakau

“Penyesuaian tarif dan HJE berdasarkan target penerimaan dalam APBN/APBNP menyulitkan kalangan industri dalam merencanakan produksi dan penetapan harga jual produk. FSP RTMM-SPSI setiap tahun selalu mendorong agar kenaikannya moderat dan kalau memungkinkan berdasarkan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi; tidak semata-mata berorientasi pada penerimaan APBN/APBNP, mempertimbangkan secara komprehensif dampak yang akan timbul akibat kebijakan tersebut, khususnya para pekerja,” Kata Sudarto Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI.

Secara khusus FSP RTMM-SPSI memberi perhatian pada sektor SKT karena sebagian besar anggotanya berkecimpung dalam sektor ini. “Sektor ini juga menampung banyak tenaga kerja yang jumlahnya 92% dari seluruh tenaga kerja IHT. Apalagi hampir 100% bahan bakunya berasal dari dalam negeri,” tambahnya.

BACA JUGA: Orang Lain Sibuk Jualan Masker, Pemuda Ini Diam-Diam Dagang Tembakau Gorila

Rencana revisi PP No. 109/ 2012 dan Perda KTR yang dirasa kian eksesif juga menjadi perhatian FSP RTMM-SPSI. Meski Indonesia belum meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), ketentuan yang ditetapkan dalam PP 109/2012, sebenarnya sudah cukup menjadi sandungan bagi IHT.

Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan terkait produksi, peredaran (termasuk promosi), dan pengembangan produk IHT telah membuat IHT berjalan abnormal walau tetap bertahan. Karena itulah, FSP RTMM-SPSI bersama mitranya berharap jangan sampai berbagai adanya rencana revisi atas PP 109/2012 menyebabkan IHT semakin menurun, hingga berimbas pada hilangnya lapangan pekerjaan.

FSP RTMM-SPSI juga menyayangkan Pengaturan kawasan tanpa rokok (KTR) oleh 340 Pemerintah Daerah yang dinilai tidak tepat karena tidak mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam PP 109 dan cenderung mendiskreditkan produk rokok yang adalah produk legal. Meski sebenarnya, hasil pungutan cukai dan pajak atas produk rokok sesungguhnya telah berkontribusi besar terhadap daerah dan negara.

Terkait penetapan cukai baru (ekstensifikasi cukai) pada produk plastik dan minuman berpemanis serta emisi CO2, FSP RTMM-SPSI menegaskan penolakannya. Organisasi meyakini penetapan kebijakan baru hendaknya mempertimbangkan hasil studi yang mendalam, sasaran yang hendak dicapai dan akibat-akibat yang ditimbulkan. Tidak semata-mata memberlakukan adanya penetapan cukai seperti IHT.

“Contohnya pada plastik, kami berharap Pemerintah tidak membebani industri atas perilaku masyarakat yang tidak tertib dalam pengelolaan. Sejauh ini produk plastik digunakan untuk melindungi higienitas produk makanan minuman. Bila produk plastik diganti, Pemerintah belum menyiapkan substitusinya. Begitupun untuk minuman berpemanis. Upaya menekan angka diabetes mestinya dapat dilakukan dengan cara yang bijak,” ucapnya.

Melalui diskusi ini FSP RTMM-SPSI bersama mitranya berharap dapat menggugah Pemerintah akan perlunya menjaga kelangsungan IHT dan Industri makanan dan minuman yang merupakan ladang penghidupan jutaan masyarakat Indonesia. Sudarto menekankan bahwa pihaknya sangat mendukung Pemerintah dalam menegakan regulasi. Namun ia berharap regulasi yang dibuat Pemerintah hendaknya juga mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama tenaga kerja.

Sebagai bagian dari negara ini, para pekerja, anggota FSP RTMM-SPSI berhak untuk memperoleh penghidupan yang layak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler