HNW: Demi Keadilan dan Stabilitas Politik, Pilkada Jangan Diserentakkan Pileg dan Pilpres 2024

Minggu, 31 Januari 2021 – 20:45 WIB
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid di diskusi Empat Pilar MPR Konsolidasi Nasional Untuk Pemilu Damai, Jakarta, Senin (25/3). Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan DPR dan Presiden Jokowi segera memutuskan jadwal pelaksanaan pilkada pada 2022 dan 2023.

Hidayat mengatakan untuk kepala daerah yang masa jabatannya habis 2022 atau 2023 tetap harus digelar pilkada pada tahun tersebut, tidak perlu digabung pelaksanaannya dengan pilpres dan pileg pada 2024.

BACA JUGA: Johan Budi Menilai UU Pemilu dan Pilkada Tumpang Tindih

"Pelaksanaan pilkada yang semestinya dilaksanakan pada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya, tidak perlu diundur ke 2024 dibarengkan serentak dengan pilpres dan pileg," kata Hidayat dalam siaran pers, Minggu (31/1).

Sosok yang karib disapa HNW itu mengatakan pelaksanaan pilkada sesuai jadwal atau pada 2022 dan 2023 merupakan bentuk keadilan.

BACA JUGA: HNW Dorong Pembentukan Perpres Tentang Ekstremisme Korupsi

Hal itu sebagaimana pilkada 2020 tetap terselenggara sekalipun Covid-19 masih menyebar.

Menurutnya, pelaksanaan pilkada 2022 dan 2023 juga akan berguna untuk menjaga stabilitas politik dan meminimalisasi gangguan keamanan yang makin menumpuk terhadap penyelenggaraan pilpres dan pileg serentak bila pilkada digabungkan juga.

BACA JUGA: Mbak Titi Kritisi Jadwal Pilpres dan Pilkada Serentak 2024

HNW mengatakan pemerintah dan DPR perlu belajar dari pengalaman Pemilu 2019 ketika pileg pilpres digabungkan menghadirkan korban ratusan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia.

Menurutnya, penggabungan itu juga menyebabkan rakyat tak fokus memilih anggota DPR/DPRD, karena fokusnya hanya kepada pilpres.

Karena itu, lanjut HNW, bisa dibayangkan kerawanan keamanan dan potensi tidak berkualitasnya ratusan pilkada bila digabungkan juga dengan pilpres.

Ia menyoroti pemerintah walau sebelumnya didesak untuk tidak melakukan pilkada di era pandemi Covid-19, tetap keukeuh menjalankan pada 2020 denganalasan antara lain kalau diundurkan akan menghadirkan distabilitas politik dan kerawanan keamanan.

"Lalu, mengapa sekarang justru tidak mau meneruskan kebijakan itu untuk ratusan daerah yang berakhir kepemimpinannya pada tahun 2022 dan 2023?” kata HNW.

HNW mengkritisi alasan pemerintah yang berencana menunda Pilkada 2022 dan 2023, serta dilaksanakan serentak bersama pilpres dan pileg pada 2024 karena alasan stabilitas politik dan keamanan.

Ia menilai alasan tersebut bertolak belakang dengan rasionalitas dan kekhawatiran umum.

Karena, kata dia, bila diundur maka ratusan daerah yang mestinya melaksanakan pilkada akan dipimpin oleh pelaksana tugas yang ditunjuk pemerintah dalam rentang waktu yang panjang (2 tahunan) dengan kewenangan yang terbatas. Padahal, kata dia, plt itu akan mengurusi pilpres dan pileg juga.

Dia menegaskan bahwa dikhawatirkan dengan kondisi politik seperti itu justru akan menghadirkan distabilitas politik dan kerawanan keamanan.

“Akan ada banyak kepala daerah yang habis masa jabatannya, sehingga digantikan dengan pimpinan yang berstatus pelaksana tugas (Plt). Kalau Pilkada 2022 dan 2023 diundurkan ke tahun 2024, justru berpotensi menimbulkan distabilitas politik dan keamanan karena banyak daerah yang dipimpin oleh plt," jelasnya.

Menurut dia, berbeda bila pilkada yang mestinya diselenggarakan pada 2022 dan 2023 digelar sesuai jadwal, maka beban pilpres atau pileg karena sudah diurusi kepala daerah definitif yang dipilih rakyat.

Karena itu, HNW berharap seluruh fraksi di DPR dan pemerintah (Presiden dan Mendagri), membuat kebijakan yang objektif terkait wacana ini agar bisa merevisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Dengan menjadikan pemilu serentak 2019 sebagai bahan evaluasi juga," katanya.

Ia meminta agar setiap kebijakan diputuskan secara objektif demi bangsa dan negara, sesuai aturan dalam UUD NRI 1945.

Apalagi, kata dia, UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia negara demokratis, hukum, yang menghormati HAM.

Konstitusi juga mengakui bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan pemilu yang diselenggarakan lima tahun sekali, dengan tidak membuat aturan untuk menguntungkan keluarga atau digunakan menjegal seseorang tertentu sebagaimana yang dikhawatirkan sebagian masyarakat.

“Ada isu di masyarakat bahwa penundaan pilkada 2022 ke 2024, dilakukan karena Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan habis masa jabatannya pada 2022. Beliau disebut akan dihambat supaya tidak terpilih kembali menjadi Gubernur DKI karena berpotensi besar untuk maju dalam Pilpres 2024," kata Hidayat lagi.

Menurut HNW, kalau benar alasan tersebut sangat disayangkan. Karena dengan alasan ‘hanya’ untuk menghambat Anies, ada ratusan pilkada di daerah lain yang dikorbankan.

Karena itu, demi kedaulatan rakyat dan demokrasi yang makin matang, serta pilkada yang berkualitas HNW berharap UU Nomor 10 Tahun 2016 bisa direvisi dengan merujuk pada spirit konstitusi. "Sehingga pengunduran pilkada itu tidak terjadi," pungkasnya. (*/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler