jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020, tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Menurut Hidayat, timing munculnya Instruksi Mendagri Nomor 6/2020
soal ‘ancaman’ pemberhentian kepala daerah dalam penegakan protokol kesehatan itu terkesan tendensius dan politis.
BACA JUGA: Fahri: Instruksi Mendagri tak Dapat Dijadikan Dasar Hukum Memberhentikan Gubernur
"Bahkan instruksi Mendagri itu melampaui kewenangannya, dan berpotensi menjadi preseden yang mengancam kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945," kata Hidayat dalam siaran persnya, Jumat (20/11).
Sosok yang karib disapa HNW itu menjelaskan, timing keluarnya instruksi berdekatan dengan momentum massa Habib Rizieq Shihab maupun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengindikasikan kuatnya tendensi politis.
BACA JUGA: Tegas! Jokowi Perintahkan Mendagri Tito Karnavian Tegur Kepala Daerah
Bahkan, ia menilai instruksi tersebut tidak sekadar teguran soal kerumunan massa dikaitkan dengan ketaatan melaksanakan prokes terkait covid-19 semata.
Sebab, ujar HNW, sudah banyak kerumunan
di berbagai provinsi terkait demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta kerja, pengajian atau peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, termasuk terkait Pilkada Serentak 2020 baik pendaftaran maupun kampanye.
BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid: Pilkada Bukan untuk Membelah NKRI
Bawaslu malah mencatat adanya 1315 pelanggaran, tetapi tidak dari dulu instruksi Mendagri itu dikeluarkan. Padahal, masalahnya ada dan keperluannya juga ada,” ujarnya.
HNW menuturkan instruksi yang tidak memenuhi rasa keadilan apalagi ditambahi dengan ancaman yang tendensius, berpotensi menjadi preseden yang menghidupkan praktek otoritarianisme yang tak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dan Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung keadilan.
Dia menjelaskan ancaman pemberhentian kepala daerah melalui Instruksi Menteri, tidak sesuai dengan ketentuan dasar dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat.
"Hal ini berimplikasi kepada hak rakyat yang secara langsung memilih pemimpinnya, baik presiden maupun kepala daerah (gubernur dan/atau wali kota, bupati),” katanya.
HNW menjelaskan UU Pemerintah Daerah mengatur mengenai pemberhentian kepala daerah, tetapi prosesnya tidak bisa dilakukan secara semena-mena. Proses pemberhentian harus dilakukan dengan alasan yang jelas sesuai ketentuan tersebut.
“Menteri Dalam Negeri tidak bisa begitu saja melakukan ancaman pemberhentian kepala daerah. Ini bukan di era Orde Baru. Sekarang kepala daerah, termasuk Gubernur DKI, dipilih langsung oleh rakyat,” ujarnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengingatkan bahwa beberapa pasal dalam UU Pemda yang menjadi rujukan Instruksi Mendagri tersebut juga memberi persyaratan yang sangat ketat.
Menurutnya, Instruksi Menteri itu menjadi tendensius, karena tidak utuh merujuk kepada ayat-ayat UU Pemda secara komprehensif.
Misalnya, seperti soal pemberhentian kepala daerah karena melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang ditekankan dalam Instruksi Mendagri tersebut.
“Pemberhentian kepala daerah dengan dua alasan itu harus melewati proses di DPRD dan harus melalui putusan Mahkamah Agung. Syaratnya sangat ketat dan sesuai dengan prinsip negara hukum yang dijamin oleh Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI 1945. Syarat itu hampir sama seperti bila melakukan impeachment presiden,” tambahnya.
Sayangnya, lanjut HNW, Instruksi Mendagri itu luput memasukkan syarat pemberhentian yang sangat ketat dalam Pasal 80 UU Pemda.
“Yang dikutip hanya ketentuan Pasal 78 UU Pemda, seharusnya dikutip juga Pasal 80 terkait syarat pemberhentian yang sangat ketat dan tidak boleh dilakukan secara semena-mena itu,” ujarnya.
Anggota DPR dari Daerah Pemilihan II Jakarta ini juga menyuarakan suara konstituennya di Jakarta yang menilai ada kesan bahwa Instruksi Mendagri itu hanya bersifat politis.
Selain itu, lanjut dia, hanya menyasar Gubernur Anies terkait penyelenggaraan kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW di kediaman Habib Rizieq Shihab.
Ia meminta pemerintah perlu menghilangkan kesan tendensius yang timbul tersebut.
“Jangan sampai instruksi ini benar-benar jadi pintu politis nan tendensius, yang tak sesuai dengan prinsip negara hukum yang akui kedaulatan rakyat.
"Harusnya Instruksi itu, apalagi bila benar itu juga perintah dari Presiden Jokowi, semestinya yang menguatkan praktikk negara hukum yang adil, serta negara demokrasi yang kuatkan kedaulatan Rakyat, juga menguatkan komitmen bersama untuk atasi darurat kesehatan nasional pandemi Covid-19," katanya.
"Bukan tendensius untuk memenuhi titipan kepentingan politik jangka pendek semata,” lanjut HNW.
Meski begitu, HNW mengaku secara prinsip sepakat dengan Instruksi Mendagri untuk mengingatkan kembali pentingnya penegakan protokol kesehatan di semua wilayah oleh kepala daerah.
Namun, kata dia, seharusnya instruksi tersebut juga didahului dengan adanya komitmen hadirnya keteladanan dari presiden dan para menteri berdisiplin menegakkan protokol kesehatan atasi Covid-19.
"Tidak perlu disertai dengan ancaman pemberhentian yang malah membikin gaduh, pecah konsentrasi atasi Covid-19 karena kontraproduktif, tendensius dan terkesan politis,” pungkasnya. (*/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Boy