HNW Kritik Rencana Menag Yaqut Persiapkan KUA Bisa Melayani Pernikahan Semua Agama

Senin, 26 Februari 2024 – 14:29 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik rencana Menag Yaqut mempersiapkan KUA bisa melayani pernikahan semua agama. Foto: Dokumentasi Humas MPR

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik rencana Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang ingin menjadikan pencatatan nikah seluruh agama terpusat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Menurut HNW, rencana tersebut tidak sesuai dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia, aturan yang berlaku, termasuk amanat UUD 1945, dan justru malah bisa menimbulkan masalah sosial dan psikologis di kalangan non-muslim, dan bisa menimbulkan inefisiensi prosedural.

BACA JUGA: Menag: KUA Direncanakan Bisa Melayani Semua Agama, Bukan Hanya Islam

"Pengaturan pembagian pencatatan nikah yang berlaku sejak Indonesia merdeka, yakni muslim di KUA dan nonmuslim di pencatatan sipil," kata HNW dalam keteranga resminya, Senin (26/2).

Selain mempertimbangkan toleransi, lanjut HNW, pengaturan pencatatan nikah tersebut juga sudah berjalan baik, tanpa masalah dan penolakan yang berarti.

BACA JUGA: 40 Ribuan PPPK Ikut Diklat, Terbanyak Guru, Menag Yaqut: Terima Kasih Pak Jokowi

"Usulan Menag itu jadi ahistoris dan bisa memicu disharmoni ketika pihak calon pengantin nonmuslim diharuskan pencatatan nikahnya di KUA yang identik dengan Islam," tegasnya mengingatkan.

Dia mengatakan faktor sejarah terkait pembagian pencatatan pernikahan itu harusnya dirujuk agar niat baik Menag Yaqut tidak malah offside atau melampaui batas.

BACA JUGA: HNW Usul Regulasi soal Umrah Mandiri Perlu Direvisi

Rencana Menag Yaqut menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah bagi semua agama yang berdampak luas dan melibatkan semua umat beragama juga belum pernah dibahas dengan Komisi VIII DPR.

"Sementara banyak warga yang kami temui saat reses, merasa resah dan menolak rencana program yang diwacanakan Menag tersebut," ungkapnya.

Anggota DPR Fraksi PKS ini menjelaskan, asal muasal KUA adalah institusionalisasi dari jabatan penghulu yang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia sudah bertugas mencatatkan pernikahan dan urusan keagamaan lainnya bagi warga muslim.

Adapun bagi nonmuslim dicatatkan langsung kepada pemerintah melalui Dinas Pencatatan Sipil (Capil), dalam rangka toleransi dan menghargai keragaman umat beragama, dan juga untuk memudahkan mereka baik secara psikologis maupun sosial.

Secara mendasar, hal itu sesuai ketentuan Pasal 29 UUD 1945 yang jelas mengamanatkan negara untuk menjamin agar tiap penduduk dapat beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Dalam aplikasinya, pembagian kewenangan pencatatan nikah juga sudah ada jauh sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tak hanya itu, lanjut HNW, panjangnya masa berlaku Undang-Undang Pencatatan Nikah dan Perkawinan menunjukkan bahwa urusan pencatatan pernikahan yang memberikan pengakuan atas kekhasan ajaran agama terkait pernikahan tersebut berjalan dengan baik, diterima dan lancar, sebagaimana amanat UUD 1945.

"Apalagi Menag dan publik tentunya tahu bahwa KUA selain perpanjangan dari peradilan agama (Islam) juga merupakan institusi atau kantor yang berada di bawah Ditjen Bimas Islam yang memang tugasnya hanya mengurusi umat Islam saja," imbuh Hidayat.

Dirinya menjabarkan berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016, Kantor Urusan Agama Kecamatan merupakan unit pelaksana teknis pada Kementerian Agama, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Anehnya, usulan Menteri Agama agar KUA juga mengurusi pencatatan nikah semua agama disampaikan juga pada Raker Ditjen Bimas Islam.

"Sangat disayangkan di Forum Raker dengan Bikas Islam yang harusnya mengutamakan pembahasan peningkatan layanan untuk masyarakan Islam justru digunakan untuk membahas yang bukan lingkup tugas dan tanggung jawab Bimbingan Masyarakat Islam," kata Hidayat.

Dirinya mempertanyakan jika KUA juga ditugasi mencatat nikah semua agama, apakah akan dibuat ketentuan baru bahwa KUA tidak lagi berada di bawah Ditjen Bimas Islam.

Pertanyaan HNW berikutnya adalah jika masih di Bimas Islam, apa relevansinya mencatatkan pernikahan nonmuslim.

"Apakah nonmuslim juga akan menerima pencatatan pernikahan mereka di lembaga yang berada di bawah Ditjen Bimas Islam? Selain itu, Komisi VIII DPR RI apa juga akan menerima hal yang ahistoric dan alih-alih menjadi solusi, malah bisa menimbulkan banyak keresahan dan disharmoni," terangnya.

Selain tidak relevan, kata HNW, kebijakan yang diusulkan itu akan semakin memberatkan KUA yang sebagian besarnya mengalami kekurangan SDM dan tidak punya kantor sendiri.

Bahkan, usulan kebijakan tersebut juga akan memberatkan warga nonmuslim yang akan menikah.

Pasalnya, ujung dari pencatatan nikah adalah di Dinas Capil yang nantinya terintegrasi dengan NIK dan KTP.

Jika mereka harus ke KUA dulu maka akan terjadi prosedur tambahan.

Selain itu, KUA juga identik dengan umat Islam sehingga tentu akan menimbulkan beban psikologis serta ideologis bagi nonmuslim jika harus mengurus pernikahan ke KUA.

HNW menambahkan di tengah fenomena banyaknya perzinahan dan kasus penyimpangan seksual lainnya, pemerintah harusnya memudahkan pernikahan sesuai Undang-Undang Pernikahan, baik melalui peningkatan layanan, perampingan syarat administratif, pemenuhan hak KUA dan sebagainya.

"Bukan justru mengubah aturan yang tidak hanya mempersulit kinerja KUA, menambah beban prosedural, tetapi juga beban psikologis dan ideologis di tengah masyarakat nonmuslim," tegasnya..

Dirinya dan Fraksi PKS mendesak agar Men Yaqut lebih focks pada maksimalisasi peran dari Bimas Islam khususnya KUA.

Sebab, di Bimas Islam sendiri khususnya terkait KUA, masih banyak masalah yang belum selesai, seperti kekurangan penghulu, kepemilikan kantor, hingga revitalisasi bangunan dan layanan, serta maksimalisasi peran dan fungsi penyuluh keagamaan termasuk yang terkait dengan konsultasi pranikah.

Peningkatan layanan penyuluhan nikah semakin mendesak lantaran maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, apalagi kasus perceraian juga semakin tinggi, yakni sebanyak 516.334 kasus sepanjang tahun 2022.

Angka tersebut meningkat 15 persen dari tahun 2021 dan merupakan yang tertinggi selama 6 tahun terakhir.

"Harusnya Menag fokus carikan solusi terhadap masalah yang merupakan ranah Bimas Islam. Bukan justru offside mengarahkan Bimas Islam turut mengurusi agama lain," tegasnya kembali.

Rencana Menag Yaqut menjadikan KUA yang merupakan institusi di bawah Dirjen Bimas Islam menjadi tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam tidak sejalan dengan aturan tata kelola organisasi Kementerian Agama (Kemenag) yang dikeluarkan sendiri oleh Menag.

"Lebih maslahat bila Menag membatalkan niatnya menjadikan KUA juga sebagai tempat pencatatan nikah semua agama, dan lebih banyak maslahatnyanya bila Menag menguatkan peran dan fungsi dari KUA untuk menjadi bagian dari solusi masalah penyimpangan dari ajaran agama Islam yang terjadi di masyarakat,” pungkasnya. (mrk/jpnn)


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler