HNW Minta Menag Jangan Terus Resahkan Umat dengan Isu Radikalisme dan Sertifikasi Da’i

Kamis, 10 September 2020 – 20:55 WIB
Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid saat rapat kerja Komisi VIII DPR RI dengan Kementerian Agama, menyampaikan langsung secara virtual aspirasi umat terutama umat Islam yang kembali resah akibat pernyataan-pernyataan dari Menteri Agama yang dinilai meresahkan dan tidak adil terhadap umat Islam.

Menurut Hidayat, pernyatan Menteri Agama dinilai bisa menghadirkan saling curiga di antara umat (jemaah Masjid) karena isu “good looking dan Hafidh” dan pembelahan di antara para penceramah atau para dai akibat program penceramah bersertifikat.

BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid Usulkan Pembentukan Mahkamah Kehormatan MPR RI

Dalam rapat kerja tersebut, HNW mengkritisi pernyataan Menteri Agama yang mengatakan bahwa program sertifikasi dai/penceramah bersertifikat sudah dikerja-samakan dengan MUI, BNPT, BPIP, dan sebagainya. Tetapi anehnya program itu malah tidak pernah dimajukan oleh Kementerian Agama kepada mitra kerja konstitusionalnya yaitu kepada DPR sebagai program kerja Kemenag. Apalagi sebagai program prioritas Kemenag di tahun 2020.

Menurut Hidayat, Komisi VIII DPR tidak pernah memberikan persetujuannya. Dalam Raker tersebut, Menag menyampaikan bahwa para Penceramah/Da’i tidak harus bersertifikat, bahkan Dirjen Bimas Islam juga menyampaikan bahwa program itu sukarela, karenanya tidak ada sanksi apa pun.

BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid: Sidang Tahunan Bukti MPR Taat Aturan

“Maka bila demikian, menjadi aneh jika Kemenag ngotot mengerjakan program dengan kualifikasi seperti itu, seolah-olah malah jadi kewajiban, apalagi dengan mengatakan sudah didukung oleh MUI. Sebab faktanya MUI justru melalui surat resmi yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum dan Waketum MUI secara tegas dan terbuka menolak program itu,” kata HNW dalam keterangan persnya, kemarin.

Lebih lanjut, HNW mengatakan penolakan secara terbuka juga disampaikan oleh PP Muhammadiyah. Dengan fakta-fakta itu, maka semestinya program ini dihentikan saja dan tidak dilanjutkan agar tidak melanjutkan keresahan Umat dan hal yang potensial memecah belah di antara Umat.

BACA JUGA: Abraham Liyanto: Sudah Waktunya NTT Diatur UU Tersendiri

Kemenag justru seharusnya menyuarakan tentang pentingnya keselamatan Umat, Bangsa dan Negara dari segala bentuk radikalisme dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945,  yang bisa menghancurkan moral, Agama dan NKRI. Bukan hanya menyasar ke Masjid, Hafidh, good looking, bisa Bahasa Arab, dan bahwa ASN harus steril dari ideologi Agama tertentu.

“Hal-hal tersebut konotasi dan kaitannya mudah dipahami bahwa itu semua tertuju pada komunitas umat Islam. Karena Menag diundang oleh MenPAN-RB untuk bahas soal Tolak Radikalisme di kalangan ASN, semestinya Menag menyampaikan soal sterilisasi ASN dari segala bentuk radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk komunisme, separatisme, liberalisme, kapitalisme,” katanya.

“Juga radikalisme yang karena bertentangan dengan Pancasila juga menghancurkan moral bangsa seperti LGBT (via berkali-kali pesta seks ratusan gay), pedopilia (korbannya lebih dari 350 anak dalam kasus dengan pedopil dari Prancis), korupsi, dan termasuk yang dikeluhkan oleh MenPAN-RB yaitu Poliandri, suatu praktik dari ideologi radikal yang menyimpang dari ajaran Agama dan hukum di Indonesia, tetapi yang mulai jadi tren di kalangan ASN,” kata HNW.

Sayang sekali, kata HNW, Menteri Agama sama sekali tidak menyinggung, malah diam seribu bahasa, terhadap bahayanya beragam praktik ideologi radikal yang dicemaskan oleh masyarakat Umum, dan melanggar aturan hukum dan membahayakan eksistensi NKRI itu.

Menurut HNW, yang dijelaskan oleh Menag terkait praktik dan penyebaran radikalisme hanya menyasar pada kelompok umat Islam, itu pun secara generalisasi tanpa fakta lapangan yang terukur dan tidak diskriminatif, karena terminologi dan contoh yang digunakannya sangat mengarah pada agama dan Umat Islam, yaitu penyebaran radikalisme melalui pemuda good looking, hafidh alQuran, bisa bahasa Arab jadi Imam di Masjid.

“Padahal beliau berbicara pada forum umum di Kementrian PAN-RB yang wajarnya ingin agar ASN bebas dari segala bentuk radikalisme termasuk komunisme, pedopilia, poliandri, LGBT dan lain-lainnya,” katanya.

Oleh karena itu, seharusnya Menag segera mengoreksi pernyataan-pernyataan dan program-program yang meresahkan Umat Islam itu, dan tidak mencari celah dan alasan-alasan dengan melemparkan masalahnya ke MenPAN-RB.

Menag seharusnya ingat betul bahwa Kementerian Agama didirikan tanggal 3 Januari 1946 sebagai terima kasih negara pada umat Islam yang telah rela demi keselamatan Proklamasi dan NKRI dari  ancaman separasi minoritas dari Indonesia Timur, maka Umat Islam rela berkorban sila pertama diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga Pemerintah RI (Presiden Soekarno) memberi hadiah dengan didirikannya Kementerian Agama.

“Sangat penting untuk diingat oleh Menag sehingga kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang adil dan mencerminkan realisasi dari sejarah dan tidak malah mencurigai dan berlaku tidak adil kepada Umat Islam dengan isu  radikalisme, terorisme, dan sebaiknya Menag tidak lanjutkan tindakan/kebijakan tidak adil kepada Umat Islam, tidak-bijakan yang bisa memecahbelah Umat yang telah berjasa bagi hadir dan selamatnya NKRI dari penjajahan Asing dan pemberontakan PKI,” katanya.

“Tetapi saya apresiasi, Menag dalam rapat kerja dengan Komisi VIII, akhirnya menerima kritik keras dan penolakan dari Komisi VIII tentang pemotongan Rp 100.000 BOS per siswa yang dilakukan oleh Kemenag untuk Siswa Madrasah dan Pesantren (yang merupakan bagian dari pemotongan anggaran pendidikan Kemenag sebesar Rp 2 Triliun),” katanya.

Padahal, kata HNW, sebelumnya sudah disepakati oleh Kemenag dengan Komisi VIII bahwa tidak ada potongan apa pun dari dana BOS dan itu harus diserahkan penuh kepada para siswa di bawah Kemenag yang berhak.

“Alhamdulillah Kemenag bisa menerima kritik itu dan sepakat untuk mengembalikan dana pemotongan tersebut kepada para siswa yang berhak. Dan, saya sampaikan agar proses pengembalian itu harus betul-betul dilakukan dengan amanah dan dilaporkan secara serius dan jujur dalam raker dengan komisi VIII. Agar Komisi VIII bisa percaya bahwa dana-dana pemotongan itu sudah dikembalikan sebagaimana seharusnya, dan sebagaimana kesepakatan dengan Komisi VIII,” katanya.

Begitulah seharusnya yang dilakukan Kemenag, memperhatikan kritik dan koreksi publik, serius memperbaiki dan tidak mengulangi.

“Agar umat dan bangsa, yang sedang terkena musibah covid-19 ini, tidak tambah resah, termasuk resah karena isu radikalisme dan terorisme terkait dengan ASN, Hafidh/good-looking yang aktif di Masjid maupun sertifikasi Penceramah,” pungkas HNW.(jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler