jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menuturkan ketika menggunakan terminologi agama maka orientasinya adalah mencerahkan. Pria asal Klaten, Jawa Tengah, itu selanjutnya menerangkan kata agama dari bahasa Sansekerta.
“Menurut bahasa Sansekerta A berarti tidak, Gama berarti kacau, sehingga agama berarti tidak kacau,” ungkap HNW saat memberi ceramah dalam acara pengajian bulanan yang diselenggarakan di Aula KH. Ahmad Dahlan, Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (12/4/2019).
BACA JUGA: MPR Ajak Media Dorong Partisipasi Publik Dalam Pemilu 2019
BACA JUGA: Mantan Kasal Kritik Prabowo Subianto Karena Sebut TNI Lemah
Dari sinilah ia menyesalkan bila ada orang beragama namun sering mengafirkan atau membidah-bidahkan orang atau kelompok yang lain. Mereka menyebut demokrasi bidah, sekolah bidah. Sikap yang demikian menurut pria yang juga menjadi Wakil Ketua Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor itu membuat beragama menjadi menakutkan.
BACA JUGA: Kekhawatiran Mahyudin Jelang Pesta Demokrasi
“Beragama itu membuat masyarakat menjadi madani bukan ’medeni’ (menakutkan),” tuturnya.
Beragama yang mencerahkan, menurut HNW sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dipaparkan, ulama pendahulu adalah sosok beragama yang mencerahkan untuk kehidupan bangsa dan negara.
BACA JUGA: Kabiro Humas MPR: 5 Menit Menentukan Nasib Bangsa 5 Tahun
HNW juga menyampiakan kepada jemaah pengajian yang hadir malam itu tentang bagaimana sosok Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, KH. Hasyim Ashari, Mohammad Natsir, dan ulama lainnya. Dengan keberagamaannya mereka mencerahkan dan menyelamatkan Indonesia.
Iajuga menceritakan bagaimana anggota Panitia 9 yang berasal dari Muhammadiyah saat merumuskan Pancasila. Sosok seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Kahar Muzakir rela tujuh kata dalam Pancasila tanggal 22 Juni 1945 dihilangkan. Langkah ketiga tokoh Muhammadiyah itu membuat Pancasila tetap terjaga dan bangsa Indonesia tetap bersatu. “Mereka mendahulukan kepentingan bangsa,” tuturnya.
Pun demikian ketika Belanda ingin menjajah kembali Indonesia lewat Surabaya. Ulama Jawa
Timur di bawah pimpinan KH. Hasyim Ashari mengeluarkan ‘Fatwa Jihad’. Dari fatwa tersebut menyemangati ummat Islam, santri, dan masyarakat untuk berjuang mempertahankan Indonesia dari upaya penjajahan kembali Belanda. “Dari fatwa itu melahirkan semangat kepahlawanan 10 November,” ucapnya.
Dari sinilah HNW mengajak kepada semua untuk tidak melupakan jasa para ulama. “Jika ada ‘Jas Merah’, jangan sekali-kali melupakan sejarah maka kita perlu juga ‘Jas Hijau’, jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama”, tuturnya. Peristiwa seperti itulah yang menurutnya perlu disegarkan kembali. “Peran ulama mencerahkan sehingga menyelamatkan Indonesia,” paparnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahyudin: Demokrasi Adalah Bentuk Ikhtiar Bersama Mewujudkan Cita-Cita Bangsa
Redaktur : Tim Redaksi