jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid meminta Kementerian Agama menyudahi atau menghentikan kontroversi soal sertifikasi penceramah yang tidak produktif dan justru menimbulkan keresahan dan polemik, serta memicu penolakan oleh masyarakat luas seperti Muhammadiyah, MUI (Sekum), bahkan ditolak oleh Tokoh Non-Muslim seperti Christ Wamena dan lain-lainnya.
Menurut HNW, pemunculan program yang kontroversial, tidak adil, dan tendensius tersebut sangat tidak tepat di tengah keprihatinan umat dan bangsa yang sedang tertimpa musibah Covid-19, dan pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi agar semua pihak fokus dan sibuk mengurusi covid-19.
BACA JUGA: Polemik Sertifikasi Penceramah, Kang Ace: Serahkan Saja ke MUI, NU atau Muhammadiyah
“Sekalipun saya setuju untuk terus mengarus-utamakan ceramah dan laku Agama yang moderat/wasathiyah, tidak radikal/tathorruf, dan orientasinya menghadirkan rahmatan lil alamin, yang semestinya Menag dan Kemenag memberikan keteladanan lebih dulu, bukan dengan mewacanakan sertifikasi. Apalagi program yang kontroversial itu juga bisa hadirkan keresahan sosial di kalangan Umat, yang tidak membantu hadirkan penguatan imunitas untuk atasi Covid-19,”’ kata Hidayat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (7/9).
Hidayat yang juga anggota DPR RI Komisi VIII ini mengkritisi dan mengingatkan, bahwa program sertifikasi penceramah tidak pernah muncul dalam program kerja maupun prioritas rencana kerja Kementerian Agama beserta anggarannya yang disampaikan Kemenag ke DPR. Karenanya program ini juga belum pernah dibahas dan disetujui oleh komisi VIII DPR-RI.
BACA JUGA: Penjelasan Terbaru Kemenag mengenai Sertifikasi Penceramah
HNW mempertanyakan Kemenag yang sangat bersemangat menggulirkan wacana ini dan membuatnya seolah-olah program yang sangat prioritas, tetapi tak pernah mengajukannya sebagai program apalagi program kerja prioritas. Padahal sejak dari awal raker Menag dengan komisi VIII DPR, selalu saja DPR mengkritik keras dan menolak wacana soal “radikalisme yang tak ada definisi dan ukurannya” yang diwacanakan oleh Menag.
Tetapi sejak itu pun, tak pernah Kemenag menyampaikan program prioritas maupun non prioritas terkait sertifikasi penceramah dikaitkan dengan isu radikalisme, untuk dibahas dan disetujui oleh Komisi VIII DPR RI.
BACA JUGA: HNW Ingatkan Menag Jangan Phobia Kepada Penghafal Al-Quran, Juga Anak Muda yang Aktif di Masjid
“Lantas, bagaimana program ini bisa muncul dan dilaksanakan? Bagaimana legalitasnya? Siapa yang membiayainya? Untuk kepentingan apa dan siapa?,” tanya Hidayat.
Menurutnya, jika memang tujuan sertifikasi adalah untuk penyuluhan dan pembekalan, selama ini Kemenag bekerja sama dengan MUI telah memiliki program pembekalan penyuluh. Sertifikasi penceramah yang demikian banyak apalagi melibatkan berbagai lembaga negara (BNPT, BPIP dan lain-lain) juga bukan hal yang mudah dan murah, mengingat misalnya Kemenag dalam melakukan sertifikasi dosen dan guru saja masih memiliki banyak kendala dan masalah, apalagi dengan terbatasnya anggaran negara akibat merosotnya penerimaan pajak, dan kebijakan umum untuk realokasi anggaran agar difokuskan pada penanganan covid-19.
HNW sapaan akrabnya mengkhawatirkan, pelibatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam proyek sertifikasi ini akan memunculkan stigma radikal dan tidak Pancasilais pada penceramah yang tidak bersertifikat.
Padahal, kata HNW, tolok ukur sertifikasi ini sangat tidak jelas dan tidak pernah disosialisasikan/diuji-publik, untuk hadirkan hasil obyektif yang dipercaya oleh publik/Umat.
Sementara sejarah telah membuktikan para penceramah umat Islam (Ustaz, Muballigh atau Kiyai) selalu berada di garda terdepan dalam mencerahkan Umat untuk membela NKRI baik dari ancaman penjajah asing maupun pengkhianatan PKI.
Kini, Menag bukan hanya melupakan sejarah itu, tapi justru akan para menghadiahi para penceramah dengan label radikal, intoleran, dan tidak pancasilais, kepada para da’i dan penceramah hanya karena dianggap tidak lulus program untuk mendapatkan sertifikat penceramah/da’i, suatu hal yang tentu sangat menyakitkan hati umat Islam.
Anehnya, sekalipun begitu seriusnya Menteri Agama dengan wacana program sertifikasi hingga konon melibatkan MUI, BNPT, dan BPIP, Dirjend Bimas Islam malah menyatakan “program ini tidak punya konsekuensi apapun”.
Bila benar demikian, menurut HNW, seharusnya Kemenag tidak ngotot membuat program yang meresahkan umat dan ditolak banyak pihak itu. Apalagi program dan anggarannya belum pernah disampaikan dan disetujui oleh DPR.
”Maka seharusnya program kontroversial dan tak produktif seperti ini, dibatalkan dan dihentikan saja. Dan, agar Menag fokus melaksanakan program kerja prioritasnya serta berkontribusi maksimal atasi covid-19 melalui program-program di Kemenag,” tegas HNW.(jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi