jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Dr. M Hidayat Nur Wahid mengkritik wacana yang diusulkan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar semua rumah ibadah dikontrol pemerintah, dengan dalih adanya penyebaran paham radikalisme.
Dia menilai wacana tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi yang berlaku di Indonesia.
BACA JUGA: HNW Ajak BEM PTMAI Jawa Timur-Bali untuk Aktif Selamatkan Bonus Demografi
Menurut dia, itu bisa menjadi teror yang membahayakan harmoni dan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.
“Wacana itu tidak sesuai dengan prinsip konstitusi yang berlaku di Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat. Karena tidak harus membebek ketentuan negara lain. Apalagi konstitusi yang berlaku di Indonesia tegas menghormati pelaksanaan ajaran Agama sebagai bagian dari HAM," ungkap Hidayat Nur Wahid dalam siaran persnya, Selasa (5/9).
BACA JUGA: HNW Sebut Langkah Heru Budi Tertibkan LGBT di Hutan Kota Cawang Patut Didukung
"Wacana itu selain berbahaya bagi pelaksanaan HAM terkait kebebasan beragama, bahkan bisa menghilangkan harmoni karena bisa memicu tumbuhnya sikap saling curiga sesama anak bangsa,” sambungnya.
HNW sapaan akrabnya menegaskan mestinya BNPT memahami dengan baik dan benar banyaknya ketentuan dalam UUD NRI 1945 yang memberikan jaminan dan kebebasan bagi rakyat untuk memeluk agama.
BACA JUGA: HNW: Kami Ingin Pemilu Berdampak Baik untuk Semua Pihak
Sebagian bahkan dinyatakan sebagai HAM. Beberapa di antaranya adalah Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 29 UUD NRI 1945.
“Ketentuan Pasal 29 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” jelasnya.
Lebih lanjut, HNW mengaku sependapat dan mendukung pernyataan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas dan Ketua Bidang Keagamaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrurrozi dan pimpinan Dewan Masjid Indonesia (DMI), bahkan PGI melalui Ketuanga, Gumar Gultom, yang juga mengkritik dan menolak wacana dari BNPT ini.
Apabila memang ada indikasi pelanggaran hukum seperti penyebaran kebencian dan laku radikalisme di rumah ibadah, aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan preventif dan persuasif.
Bukan justru memberlakukan wacana yang mengembalikan Indonesia ke era represi pra demokrasi dengan semuanya dilakukan kontrol termasuk di rumah ibadah, tanpa ada bukti hukum adanya penyebaran kebencian atau paham radikalisme di tempat-tempat ibadah.
“Kami setuju menolak segala bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUDNRI 1945 seperti separatisme, komunisme dan radikalisme. Tapi BNPT mestinya tampilkan bukti dengan menyebutkan tempat-tempat ibadah yang dicurigai menyebarkan kebencian atau paham radikalisme. Itu harus jelas terlebih dahulu pelanggaran hukumnya," tuturnya.
Dia menambahkan jangan hanya karena ada laporan pertanyaan dari satu pihak lalu dipukul rata atau digeneralisasi untuk dikontrol semuanya.
Itu bisa memunculkan ketakutan, saling curiga, dan membuat ketidaknyamanan pemeluk agama di saat mereka berada di rumah ibadah yang mestinya malah menghadirkan ketenteraman.
Secara spesifik, HNW juga sependapat dengan Ketua PBNU Bidang Keagamaan Gus Fahrur yang menyebutkan bahwa kebebasan beribadah merupakan salah satu elemen penting dari kebebasan beragama.
Apalagi, ketentuan-ketentuan dalam konstitusi juga telah menjamin keduanya, yakni kebebasan beragama dan juga kebebasan beribadah.
Oleh karena itu, HNW berharap agar wacana untuk mengontrol tempat ibadah itu dibatalkan saja.
HNW menegaskan bahwa Indonesia, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, merupakan negara hukum yang bertujuan memberikan kenyamanan dan kesejahteraan masyarakatnya dengan tegaknya kedaulatan hukum.
"Indonesia adalah negara demokrasi yang mengakkan hukum tapi tetap menghormati HAM yang bertujuan mencapai welfare state selayaknya negara-negara di era modern. Bukan konsep negara penjaga malam yang kerap mencurigai rakyatnya sendiri,” tambahnya.
“Wacana mengontrol tempat ibadah ini harus benar-benar ditinjau ulang dan ditolak secara tegas. Apalagi, bila tidak ada bukti sebagai dasar yang kuat untuk melaksanakan itu. Wacana tanpa bukti hukum tersebut sangat berpotensi menjadi teror terhadap harmoni kehidupan beragama yang dijamin Konstitusi” pungkasnya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HNW Paparkan Peluang dan Tantangan Pengembangan Madrasah Menuju Indonesia Emas 2045
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian