HNW Tegaskan Selain NKRI, Pembukaan UUD 1945 Harga Mati

Minggu, 07 November 2021 – 10:27 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) saat menjadi pembicara kunci pada seminar nasional yang diselenggarakan MPR bekerja sama dengan MUI dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sabtu (6/11). Foto: Humas MPR RI.

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan kerukunan antarumat beragama sudah menjadi komitmen bersama para pendiri bangsa.

Dia menyebutkan salah satu bukti yang telah dicontohkan para pendiri bangsa terjadi pada proses penyusunan Pancasila, baik di BPUPKI, Panitia Sembilan maupun PPKI.

BACA JUGA: 2 Mobil Listrik BMW jadi Safety Car di Sirkuit Mandalika

Puncaknya saat kelompok religius dan nasionalis bersepakat dalam menentukan sila-sila Pancasila.

"Penghilangan tujuh kata dalam Piagam Djakarta adalah bukti bahwa kelompok Islam mau mendengar dan berempati terhadap tuntutan kelompok Indonesia bagian timur," kata HNW saat menjadi pembicara kunci di Seminar Nasional "Sosialisasi Kerukunan Antara Umat Beragama dalam Bingkai Pancasila dan UUD 1945" yang diselenggarakan MPR bekerja sama dengan MUI dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sabtu (6/11).

BACA JUGA: Syarief Hasan Sebut Evaluasi Presidential Threshold Urgen Dibahas

Politisi PKS itu mengatakan keihklasan menghilangkan tujuh kata tersebut dalam Piagam Djakarta juga bermakna bahwa kerukunan antarumat beragama sudah tercipta dan dipraktikkan dengan baik.

"Kalau bukan karena ingin mempertahankan kerukunan, masing-masing kelompok pasti lebih mengutamakan egoisme serta kepentingannya sendiri-sendiri," tegas HNW.

BACA JUGA: HNW Kecewa Berat Pada Pemendikbudristek 30/2021: Minta Presiden Sentil Nadiem

Dia juga menyampaikan makna kerukunan antara umat beragama juga mendasari dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945.

Karena itu, HNW menegaskan Pembukaan UUD 1945 harga mati dan tidak bisa diubah lagi.

"Sebab, di sana terdapat teks Pancasila dan cita-cita Indonesia merdeka. Mengubah cita-cita kemerdekaan berarti mengubah NKRI," tandasnya.

Narasumber lainnya yang hadir di seminar tersebut, yaitu Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Pendeta Gomar Gultom mengatakan kerukunan antarumat beragama terbentuk dengan sendiri, bukan dipaksakan ataupun direkayasa.

"Proses dialektika dan keputusan menetapkan Pancasila adalah bukti bahwa kerukunan antarumat beragama sudah ada sejak dahulu, dan itu tumbuh di seluruh wilayah Indonesia," kata Pendeta Gomar.

Menurutnya, di masa kini kerukunan antarumat beragama makin mudah ditemukan.

Misalnya, saat umat Nasrani merayakan hari rayanya, banyak ibu-ibu selain agama Nasrani membantu kesibukan di geraja.

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr Ma'mun Murod Al-Barbasy mengingatkan praktik politik di Indonesia berpotensi merusak kerukunan antarumat beragama, seperti saat Pilkada Jakarta dan dilanjutkan pada Pilpres yang lalu.

Ma'mun menyoroti ketentuan presidential threshold yang mencapai 20 persen yang dinilai menyebabkan politik belah bambu yang membuat kelompok umat beragama saling berhadapan pada perhelatan pesta demokrasi lima tahunan itu.

"Patut dikaji kembali agar presidential threshold diturunkan supaya kandidat yang muncul lebih dari dua pasang untuk menghindari terjadinya politik belah bambu," usul Rektor UMJ itu. (mrk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bamsoet Ungkap Praktik Kerja Kotor Dilakukan Oknum PMI di Bahrain, Memalukan


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler