HNW: Teror Terhadap Wartawan dan Panitia Diskusi UGM Mencederai Pancasila, Demokrasi dan Hukum

Minggu, 31 Mei 2020 – 14:38 WIB
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. Foto: Humas MPR

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menolak keras teror dan ancaman pembunuhan secara terpisah terhadap wartawan media online dan narasumber serta panitia diskusi di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).

Oleh karena itu, politikus PKS ini meminta kepolisian segera menegakkan keadilan hukum dengan mengusut tuntas hal tersebut guna menyelamatkan praktik ber-Pancasila, demokrasi dan hukum yang adil, untuk menjaga eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi dan hukum.

BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid Dorong Kemenag Bantu UKT Mahasiswa

Hidayat menilai apabila ancaman seperti itu dibiarkan, akan menjadi tren, dan bom waktu diabaikannya Pancasila, dan berkembangnya negara Democrazy dan Hukum Rimba yang tak sesuai dengan Ideologi Pancasila.

“Teror, intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan adalah kejahatan yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan prinsip negara demokrasi dan hukum serta tuntutan reformasi. Teror sejenis juga ditujukan kepada narasumber dan panitia diskusi ilmiah di kampus UGM. Karenanya teror-teror seperti itu harus diusut tuntas, dan pelakunya dijatuhi hukuman keras agar kejahatan seperti ini tidak diulangi lagi,” ujar Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (31/5).

BACA JUGA: Eks Kontributor Playboy Dipilih Jadi Dirut TVRI, HNW: Tidak Sesuai TAP MPR Etika Kehidupan Berbangsa

HNW sapaan akrabnya berpendapat di era demokrasi dan reformasi, cara-cara teror dan ancaman pembunuhan untuk menunjukan ketidaksetujuan dengan pihak lain seharusnya sudah ditinggalkan dan tidak dipraktekkan lagi.

“Ini malah ada dua teror dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan dan kegiatan di kampus, yang dipertontonkan dengan vulgar kepada publik. Bahkan membuat diskusi ilmiah di kampus UGM sampai dibatalkan. Cara-cara semacam ini seharusnya sudah tidak lagi diberi tempat di Indonesia. Polisi harusnya tegas tegakkan hukum, mengayomi rakyat dan adil,” tukasnya.

BACA JUGA: Sentil Jokowi Soal New Normal, Pernyataan Politikus Demokrat Ini Sungguh Menohok

Bahkan, lebih parah lagi, pelaku ancaman teror di UGM mencatut sebagai aktivis “ormas” Muhammadiyah di Klaten, tetapi kemudian dibantah oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Klaten.

“Pelaku jelas telah mencatut dan mencemarkan nama besar Muhammadiyah. Mungkin juga dengan motif adu domba. Saya sangat yakin kader Muhammadiyah yang terkenal dengan akhlak mulia dan intelektualitas tingginya, pasti tidak akan menggunakan cara-cara negatif itu. Dengan mengusut tuntas, polisi sekaligus dapat mencegah terjadinya adu domba dan fitnah terhadap Muhammadiyah,” ujar putra mantan pimpinan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Prambanan Klaten ini. 

Sebagai informasi, dalam beberapa hari terakhir, terdapat dua ancaman pembunuhan yang sangat menghebohkan publik. Pertama adalah ancaman pembunuhan kepada wartawan detik.com atas pemberitaan terkait Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan ancaman pembunuhan kepada panitia dan narasumber diskusi di Fakultas Hukum UGM yang bertajuk “Persoalan pemakzulan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatangeraan.” Akibat ancaman itu, diskusi di UGM batal dilaksanakan.

Menurut Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), peristiwa intimidasi kepada wartawan memang mengingatkan rekan-rekan wartawan untuk lebih serius mempraktikkan kode etik jurnalistik. Tetapi bukan berarti bila ada yang tidak setuju dengan pemberitaan wartawan, lantas jalan keluarnya adalah teror dan ancaman pembunuhan.

Ia mengatakan dalam negara hukum seperti Indonesia, sudah ada mekanisme keberatan yang telah diatur oleh Undang-Undang Pers.

“Silakan dilaporkan saja ke Dewan Pers. Nanti akan dinilai apakah memang benar wartawannya yang salah kutip, atau memang narasumbernya yang salah memberikan keterangan (dan kemudian dia ralat). Jadi, bukan dengan teror dan ancaman pembunuhan,” ujarnya.

Sedangkan, untuk kasus di FH UGM, HNW menegaskan bahwa mimbar akademik sebagai pelaksanaan HAM seharusnya tidak diberangus, tetapi dihormati dan dibebaskan dari intervensi apa pun dan siapa pun.

“Terkait diskusi terakhir yang berjudul pemakzulan presiden, seharusnya bisa disikapi dengan ilmiah, intelektual dan kepala dingin. Ketentuan soal pemakzulan presiden memang ada dalam UUD NRI 1945. Namun, proses untuk melakukan itu diatur sangat ketat, dengan tahapan yang berjenjang. Jadi, tidak karena satu diskusi di kampus maka terjadilah pemakzulan. Mendiskusikan hal itu, apalagi secara ilmiah di kampus, bukan tindakan makar,” tegasnya.

HNW juga mengapresiasi langkah sejumlah pihak, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan sejumlah asosiasi pengajar di fakultas hukum di Indonesia, dan PP Muhammadiyah, yang menyuarakan keberatannya terhadap ancaman, intimidasi dan teror seperti dalam kasus-kasus tersebut, dan agar Polisi segera mengusut tuntas.

“Semua pihak memang seharusnya ikut mengawal praktik demokrasi Pancasila yang karenanya mementingkan adanya penegakan hukum yang adil. Apalagi ini menjelang peringatan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni, yang nilai-nilainya wajib kita jaga dan perjuangkan bersama, bukan hanya sekadar perayaan tahunan yang bersifat seremonial. Karenanya Polisi semestinya segera melakukan kewajibannya mengusut tuntas, tegakkan hukum yang benar dan adil,” pungkasnya.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler