jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid MA, menilai Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sudah bermasalah sejak awal.
Salah satu alasannya, karena tidak memasukkan ketentuan hukum yang langsung terkait dengan penyelamatan ideologi Pancasila.
BACA JUGA: HNW: RUU HIP Seharusnya Mencantumkan TAP MPRS Larangan Ideologi Komunisme
Seperti, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menyatakan PKI sebagai Partai terlarang. Dan, melarang setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ideologi atau ajaran komunisme, Marxisme dan Leninisme.
Sementara dalam rancangan itu malah mencantumkan 8 TAP MPR lain sebagai dasar pembentukan RUU HIP. Padahal TAP-TAP tersebut tidak terkait langsung dengan (pengukuhan dan penyelamatan) haluan ideologi Pancasila.
BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid Dorong Kemenag Bantu UKT Mahasiswa
Menurut HNW, RUU HIP akan kehilangan rohnya apabila tidak mempertimbangkan sejarah pembentukan Pancasila sebagai ideologi Bangsa dan Negara, hingga mencapai kesepakatan final PPKI pada 18 Agustus 1945.
Semuanya menyebut Sila Ketuhanan, dan tidak satupun yang menyebut sila atheisme apalagi Komunisme sebagai dasar atau ideologi Negara. Tetapi sudah terjadi 2 kali pemberontakan Partai Komunis Indonesia dengan ideologi komunismenya, untuk juga pada intinya mengubah Ideologi Negara yaitu Pancasila.
BACA JUGA: 25 Perwira Tinggi TNI Naik Pangkat Termasuk Letjen TNI Moch Fachruddin, Selamat Bekerja!
“Padahal sekarang kembali bermunculan fenomena penyebaran ideologi komunisme yang menjadi ancaman terhadap ideologi Pancasila,” kata Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (15/5).
Hidayat menyayangkan tidak dimasukkannya TAP MPRS tentang larangan ideologi komunisme sebagai dasar hukum RUU HIP. Padahal TAP MPRS ini masih berlaku dan bahkan ada turunannya.
Beberapa di antaranya adalah ketentuan Pasal 107a sampai dengan Pasal 107e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 4 ayat (3) UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang menyebutkan secara spesifik bahwa komunisme sebagai salah satu bentuk ancaman bagi negara. Dan Pasal 59 ayat (4) huruf c Jo. Pasal 82A ayat (2) UU Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang memuat larangan bagi Ormas menyebarkan ajaran atheisme, komunisme, marxisme-leninisme dan sanksi pidana bagi anggota Ormas yang melanggar larangan itu.
Anehnya, kata HNW, perancang RUU ini malah memasukkan 8 TAP MPR lainnya yang tak terkait langsung dengan Ideologi Pancasila, di antaranya TAP MPR no VII/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, dan TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, disebut secara jelas sebagai dasar hukum.
“Ini aneh, ada 8 TAP MPR yang dijadikan dasar hukum pembentukan RUU HIP, padahal tak terkait langsung dengan ideologi Pancasila, tetapi ada TAP MPR yang sangat terkait dan menjaga ideologi Pancasila dari ideologi yang merongrongnya, yaitu komunisme, malah tidak dimasukkan,” ujarnya.
Kalau serius dan fokus ingin menghadirkan UU HIP, dan menghilangkan kecurigaan Rakyat, kata Hidayat semestinya TAP MPR yang terkait langsung dengan penyelamatan haluan ideologi Pancasila yaitu TAP MPRS No 25/1966 lebih layak dimasukkan, dan bahkan mestinya dicantumkan pada penyebutan awal.
Perlu ditegaskan pula sejak awal, bahwa yang dimaksud dengan Pancasila adalah Pancasila dalam bentuk final sesuai kesepakatan para Founding Fathers dalam PPKI pada 18 Agustus 1945, bukan yang lainnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menuturkan pemilihan acuan hukum yang tepat sangat dibutuhkan dalam memahami dan melihat arah suatu pengaturan RUU.
“Inisiator dan penyusun RUU HIP sudah diingatkan oleh Anggota FPKS pada saat rapat-rapat di Badan Legislasi DPR, soal rasionalitas memasukan TAP MPRS tentang Larangan PKI dan Penyebaran Ideologi Komunis tersebut sejak dibahas di Badan Legislasi DPR RI.
Namun, hingga ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR, TAP MPRS, pada Rapat Paripurna DPR, usulan-usulan itu tidak juga dimasukkan sebagai dasar hukum. Karenanya wajar bila FPKS menyampaikan penolakan RUU ini bila tidak memasukkan TAP MPRS no 25/1966,” ujarnya.
Padahal, lanjut HNW, beberapa Fraksi juga sudah menyatakan usulannya untuk dimasukkannya TAP MPRS No 25/1966. Masalah ini pun sudah menjadi perhatian publik. Karena itu seharusnya RUU HIP bukan hanya perlu memasukan TAP MPRS tentang larangan penyebaran paham Komunis sebagai dasar hukum.
Teapi juga memasukkan fenomena munculnya ajaran ideologi komunisme pasca reformasi sebagai pertimbangan sosiologis dalam konsiderans “mengingat” pada RUU tersebut.
“Ini salah satu urgensi dari lahirnya RUU HIP. Tetapi sayangnya, fenomena tersebut diabaikan dalam RUU ini. Sekalipun bila dibandingkan draf naskah awal RUU dengan draft RUU HIP yang dimajukan ke Rapat Paripurna, memang sudah ada perbaikan. Tetapi justru yang inti yaitu soal TAP MPRS yang mengawal Pancasila dari ideologi komunisme yang tak sesuai dengan Haluan Ideologi Pancasila, masih juga tidak dimasukkan,” tukasnya.
Bagi Hidayat, TAP MPRS No 25/1966 soal larangan ideologi dan paham komunisme seharusnya menjadi salah satu ketentuan yang menjadi jantung bagi RUU HIP.
Untuk menyelamatkan Ideologi Pancasila, dan tak terulangnya tragedi yang membahayakan Pancasila sebagaimana dilakukan oleh PKI dengan 2 kali pemberontakannya.
Itu seharusnya yang utama. Jadi RUU ini bukan hanya ditujukan untuk memperkuat BPIP secara kelembagaan, yang efektifitasnya untuk mengawal Ideologi Pancasila masih menjadi pertanyaan, diakibatkan oleh laku dan pernyataan-pernyataan sebagian Pimpinannya yang kontroversial dan jauh dari makna dan laku yang seharusnya bila dikaitkan dengan Ideologi Pancasila.
HNW menuturkan, dalam rangka hadirnya UU untuk Haluan Ideologi Pancasila yang sebenarnya, nantinya pembahasan antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah terhadap RUU HIP ini penting dikawal dan diawasi secara seksama dan bersama oleh semua komponen bangsa.
“Proses ini perlu diawasi secara bersama, jangan sampai RUU ini justru digunakan oleh sebagian kalangan untuk menegasikan ancaman komunisme dan mencoba mengebiri TAP MPRS Nomor 25/1966 yang masih berlaku sampai saat ini,” ujarnya lagi.
Sebagai informasi, RUU HIP telah ditetapkan sebagai RUU Usul Inistiatif DPR dalam Rapat Paripurna pada 12 Mei 2020 lalu, dengan penolakan dari Fraksi PKS karena draf terakhir tidak memasukan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan untuk menyebarkan atau mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. RUU HIP tersebut rencananya akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah pada masa sidang DPR mendatang.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich